Skip to main content

Tan Malaka Bapak Bangsa Yang Terlupakan

"Dari dalam kubur, suara saya akan jauh lebih keras daripada di atas bumi." Teriak Tan Malaka saat polisi Inggris menangkapnya di Hongkong pada tahun 1932.

Tan Malaka atau Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka terlahir di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Sumatra Barat, 2 Juni 1897. Ia merupakan seorang aktivis pejuang nasionalis Indonesia dan politisi yang mendirikan Partai Murba. Ia juga dikenal sebagai sosok pejuang yang militan, radikal, revolusioner dan banyak melahirkan pemikiran yang berbobot serta memiliki pengaruh dan peran besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. 

Perjuangan Tan Malaka tak hanya sebatas pada usaha pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat Vereeniging van Spoor-en Tramweg Vereeniging (VSTV) dan aksi-aksi pemogokan, tapi juga mencerdaskan rakyat Indonesia. VSTV merupakan sebuah organisasi buruh kereta api yang dianggap sebagai tonggak gerakan buruh di Indonesia.

Tan Malaka menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam pembuangan di luar Indonesia. Secara tak henti-hentinya hidupnya terancam dengan penahanan oleh penguasa Belanda dan sekutu-sekutu mereka. Sejak kecil Tan Malaka dikenal sebagai sosok yang cerdas. Berkat kecerdasannya, sang guru Horensma membawa Tan Malaka muda merantau ke Belanda. Waktu itu usianya baru enam belas tahun. Selama di Belanda, Tan Malaka muda bersekolah di Harlem. Sewaktu sekolah ia gemar menulis dan bermain biola. Waktunya juga dihabiskan dengan banyak terlibat terlibat dalam Organisasi Komunis Internasional atau Komintern.


Dari Negeri Kincir Angin, Tan Malaka juga sempat melanglang buana ke beberapa negara untuk menyebarluaskan pengaruh politiknya. Saat kembali ke Tanah Air, ternyata tindakannya membuat Pemerintah Kolonial Hindia Belanda gerah sehingga ia beberapa kali ditangkap. Tan Malaka pun termasuk yang menolak perjuangan melalui jalur diplomasi.

Setelah Indonesia merdeka Tan Malaka tetap saja muncul sebagai sosok yang kritis. Ia begitu kukuh mengkritik terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda maupun pemerintahan republik di bawah Soekarno pasca-revolusi kemerdekaan Indonesia. Walaupun berpandangan komunis, ia juga sering terlibat konflik dengan kepemimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI). Berkat sikap kritisnya tersebut dan akibat hiruk pikuk politik pada tahun 1948 membuat Tan Malaka harus berakhir hidupnya secara tragis.

Menurut Sejarawan Belanda, Harry A Poeze, yang meneliti selama beberapa tahun dilansir dari harian KOMPAS edisi Jumat (27/7) di Jakarta, menjelaskan, Tan Malaka ditembak mati tanggal 21 Februari 1949. Di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selo Panggung, Kediri, Jawa Timur, jejak kematian Tan Malaka terkuak.

Selama ini kematian Pahlawan Nasional Tan Malaka sempat menjadi misteri selama hampir setengah abad. Poeze memulai riset Tan Malaka sejak tahun 1980 dengan menemui banyak tokoh nasional. Harry Poeze yang juga Direktur KITLV Press (Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara) menambahkan, Tan Malaka ditembak di Desa Selo Panggung di kaki Gunung Wilis di Jawa Timur. Menurut Poeze eksekusi yang terjadi selepas agresi militer Belanda ke-2 itu didasari surat perintah Panglima Daerah Militer Brawijaya Soengkono dan komandan brigade-nya, Soerahmat. Petinggi militer di Jawa Timur menilai seruan Tan Malaka yang menilai penahanan Bung Karno dan Bung Hatta di Bangka menciptakan kekosongan kepemimpinan serta enggannya elite militer bergerilya dianggap membahayakan stabilitas. Mereka pun memerintahkan penangkapan Tan Malaka yang sempat ditahan di Desa Patje. Sebelum ditangkap, ia memimpin gerilya melawan Belanda di Desa Belimbing. Dia juga mengimbau seluruh rakyat melakukan perjuangan semesta melawan Belanda, seperti yang dilakukan Panglima Besar Jenderal Soedirman.

Sebenarnya Tan Malaka pada bulan September 1945 pernah disiapkan Bung Karno untuk memimpin Indonesia jika Proklamator mengalami bahaya sehingga tidak mampu bertugas, sempat lolos dari tahanan bersama 50 gerilya anti-Belanda yang dipimpinnya. Namun, Tan Malaka yang berpisah dan bergerak dalam rombongan kecil berjumlah enam orang ditangkap Letnan Dua Soekotjo di Desa Selo Panggung yang berakhir dengan eksekusi.

Tan Malaka sempat dijuluki "Bapak Repoebliek Indonesia" selepas medio 1920-an karena menerbitkan buku Naar Repoebliek Indonesia (Menuju Repoebliek Indonesia) dalam Bahasa Belada dan Melayu tahun 1924 di Kanton (sekarang Guangzhou), China. Dari ratusan jilid buku yang diselundupkan ke Hindia Belanda dan diterima para tokoh pergerakan, termasuk pemuda Soekarno bisa diketahui kisah tersebut. Walhasil, ia sudah dikenal sebagai Bapak Republik Indonesia jauh sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945. Fakta tentang hal itu ditampilkan dalam tiga jilid buku berjudul Tan Malaka Verguisd en Vergeten (Tan Malaka Dihujat dan Dilupakan). Melalui ketetapan parlemen dalam sebuah undang-undang tahun 1963 Tan Malaka dinyatakan sebagai "Pahlawan revolusi nasional"

(DARI BERBAGAI SUMBER)

Comments