Skip to main content

Resensi Buku Mom I Can (not) Hear

Sampul Buku I Cant Hear
Terlepas dari apa pun, saya sangat bersyukur memilikinya. Gwen adalah anugerah terbesar dalam hidup saya. Proses membesarkan Gwen dan melatihnya mendengar dan berbicara telah memberikan saya begitu banyak pelajaran berharga, lebih daripada yang pernah saya bayangkan. (San C. Wirakusuma).

Perjuangan seorang ibu dan orang-orang terdekat demi putri tercintanya dikisahkan dalam buku berjudul “ I Can (Not) Hear. Buku yang ditulis oleh Feby Indirani dan San. C. Wirakusuma ini diambil dari kisah nyata yang dialami oleh San C. Wirakusuma. Kisah yang bermula dari sebuah negara yang kini menjadi bagian China, Hongkong.
Satu kebahagiaan bagi pasangan John dan San. Buah dari pernikahan mereka, lewat sebuah operasi, San melahirkan bayi perempuan, mungil. Beratnya 3 kilogram dengan panjang 49,5 centimeter. Gwendolyne, itulah nama dari putra pertama pasangan John dan San. Nama yang diambil San dari sebuah buku yang pernah ia baca berjudul Malory Towers karya Enid Blyton.

Gwen tumbuh layaknya bayi sehat lainnya. Hari demi hari terus tumbuh tanpa ada satu hal yang beda. Hingga suatu hari pasangan muda ini memeriksakan Gwen ke dokter ahli THT, dr Lizette Chung. Awal mulanya San curiga dengan kebiasaan putrinya yang sering menggeleng-gelengkan kepala, dan ia mencium sesuatu bau kurang sedap dari telinga anaknya.

Dr Lizette Chung mulai memeriksa Gwen. Dia mencoba membunyikan sesutu di dekat telinga bayi kecil ini. Setelah sekian kali ternyata tak ada respon yang berarti. Akhirnya ia merekomendasikan kepada San untuk membawa bayinya menjalani tes, Phonak Hearing Center Hongkong memastikan apa yang sebenarnya terjadi.

Serangkaian tes dilakukan dan hasilnya San dan John mendapati satu kenyataan pahit. Putri pertama mereka Gwen yang waktu itu baru berusia 6 bulan divonis mengalami gangguan pendengaran yang sangat berat. Bahkan diibaratkan seandainya ia berdiri di samping pesawat terbang yang akan lepas landas, ia tak akan mendengar suara apapun.

Vonis yang tak begitu saja diterima oleh mereka dan menyisakan satu pertanyaan besar ‘Mengapa?’. Apa yang menyebabkan putri kecil mereka mengalami tuna rungu padahal di riwayat keluarga mereka tak ada yang pernah mengalami hal itu.

San tak puas dengan sekali hasil tes ia berkunjung dari satu ahli THT ke yang lain, satu dokter ke dokter lain. Ia masih belum puas dengan hasil yang menyatakan putri mereka mengalami gangguan pendengaran yang berat. Ia juga penasaran apa yang menyebabkan kelainan pada putrinya.

Ternyata jawaban dari satu ahli ke ahli lain sama. Hasilnya Gwen memang mengalami gangguan pendengaran yang cukup berat. Terkait dengan penyebab kelainan tersebut San mendapat jawaban setelah memeriksakan sampel darahnya di Klinik Dr. Goh, Quens Mary Hospital. Berdasarkan tes penyebabnya adalah ia pernah terjangkit virus CMV (cyto megalovirus).

Setelah sekian lama tenggelam dalam duka akhirnya San dan John mencoba menerima. Mereka tersadar untuk menolak takdir dan lantas membuat langkah untuk masa depan putri mereka, Gwen.

Setelah mendapat rekomendasi dari beberapa ahli telinga mereka memutuskan untuk menanamkan semacam chip sebagai alat bantu di dalam kepala Gwen. San tak bisa membayangkan saat-saat putri kecilnya yang baru berusia 1,5 tahun digunduli kepalanya. Bayi yang kepalanya sudah tak berambut itu tergeletak di meja operasi, kepalanya dibor dan sebuah chip ditanamkan di dalam rumah siput pada telinga kanannya ( cochlear implant).

Menjalani operasi ternyata belum menjadi solusi bagi Gwen. Meski alat bantu canggih sudah ditanamkan tidak serta merta ia langsung bisa mendengar, mengenali bunyi serta berbicara. Ada begitu banyak proses hingga akhirnya Gwen bisa seperti saat ini.

Selama proses panjang itulah akhirnya San menyadari bahwa proses mendengar dan berbicara anak tuna rungu tidaklah sama dengan mereka yang normal. Anak tuna rungu memerlukan pengulangan saat mendengarkan bunyi-bunyi atau suara yang ada di sekelilingnya. Untuk mampu mengucapkan kata “Mommy” Gwen membutuhkan ratusan bahkan mungkin ribuan kali mendengarkan sampai akhirnya bisa melafalkan dengan benar.

San dengan penuh kesabaran membimbing dan merawat Gwen. Beruntunglah Gwen karena ia didampingi wanita yang begitu sabar serta ayah dan nenek yang selalu mengerti, menjaga, dan mendukung apa pun yang menjadi keinginan dan kebutuhan Gwen.

Demi perkembangan Gwen, San sempat bermukim di Australia. Keputusan ini sempat menjadi perdebatan antara San dengan John. John ingin San dan Gwen tinggal di Australia saja sedangkan San berpendapat lebih baik mereka tinggal di Singapura karena jika terjadi apa-apa dekat dengan Jakarta.

Setelah berfikir rasional dan demi perkembangan putrinya San luluh juga. Ia menerima keputusan John tinggal di Australia. Akhirnya San mereka tinggal di negeri Kanguru tersebut hingga 3,5 tahun.

Hasil kesabaran San ternyata membuahkan hasil. Kini putrinya telah tumbuh besar. Ia memiliki banyak teman yang senasib dan makin lapang dada menerima kekurangannya. Bahkan ia kerap menjadi inspirasi bagi orang tua lain dalam pertemuan rutin Yayasan Indonesia Mendengar yang didirikan oleh San bersama beberapa orang lain. Yayasan yang menjadi wadah informasi bagi orang tua yang memiliki anak gangguan pendengaran yang memakai alat bantu dengar konvensional atau cochlear implant.


Ada banyak kisah menarik yang bisa menjadi contoh dalam buku ini. Satu pelajaran bagaimana seharusnya orang tua berusaha mengerti apa yang diungkapkan oleh anaknya. Apalagi jika sang anak memiliki kebutuhan khusus seperti Gwen.

Pernah suatu hari Gwen minta sesuatu pada San. San menunjukkan satu demi satu isi kulkas namun ternyata tak ada yang diinginkan putrinya. Gwen hanya menangis merengek sesuatu yang tak dimengerti oleh ibunya. Hingga akhirnya San ingat beberapa hari sebelumnya Gwen pernah minta permen yang terletak diatas lemari namun ia melarangnya. San tak kuasa menahan haru sambil melihat putri kecilnya yang terlelap.

Satu kejadian lagi yang bisa menjadi pelajaran adalah ketika Gwen bersikeras tidak mau memakai stockingnya. Meski sudah dibujuk ia tak mau bahkan ayahnya, John sempat memukul Gwen gara-gara hal itu. Gwen baru bersedia memakai stocking setelah diancam akan ditinggal di rumah sendiri oleh orang tuanya.

Namun pada malam harinya setelah acara berakhir, saat sang ibu membantu Gwen melepaskan stoking, ia baru mengetahui alasan mengapa Gwen menolak memakai stoking. Alasan putri kecilnya tidak mau memakai stocking adalah karena tidak ingin merusak kuteks yang ada di kuku jari-jari kakinya. SanSan dan John akhirnya menyesali apa yang telah mereka lakukan pada Gwen karena tak mengerti apa maksud putrinya.

Dengan beragam kisah dan perjuangan yang mengharukan buku ini cukup menyentuh para pembacanya. Pembaca bakal terkagum oleh sosok ibu hebat seperti San atas perjuangannya dalam menghadapi Gwen dan perjuangannya untuk berbagi pengalaman dengan orangtua anak-anak tuna rungu di Indonesia.

"Bagi mereka yang memiliki orang dekat mungkin anak, sahabat, atau keluarga yang kebetulan menderita tunarungu ini juga menjadi inspirasi untuk tabah dan terus maju. Secara umum buku ini sangat bagus dan layak dibaca!"

Judul Buku : I Can (Not) Hear
Nama Penulis : Feby Indirani & San C.Wirakusuma
Penerbit : Gagas Media

Tebal Halaman : 352 halaman

Kategori : Non Fiksi-Memoar

ISBN : 9789797803636


Fathoni Arief

Comments