Skip to main content

Saat Garuda Menjadi Burung Emprit

Apa yang terjadi jika sebuah bangsa yang besar yang dulu pernah dikenal sebagai generasi gagah perkasa menjadi generasi burung emprit? Generasi yang lemah, tak berdaya, tak punya karakter namun memiliki impian selangit. Itulah yang dipentaskan Teater Dinasti Jogjakarta lewat lakon " Tikungan Iblis" karya budayawan Emha Ainun Najib, di Graha Bhakti budaya, Taman Ismail Marzuki Jakarta, tanggal 30 Desember 2008.

Pementasan lakon " Tikungan Iblis" ini cukup unik dan menarik. Ada unsur multimedia yang dimasukan garapan Fajar Suharno dan Jujuk Prabowo dengan ilustrasi musik Bobiet Santoso dan Kiai Kanjeng. Pemeran lakon ini diantaranya Aktris dan penyanyi Novia Kolopaking, Joko kamto, Jemek Supardi, Novi Budianto dan aktor-aktor muda potensial yang lainnya. Sebelum digelar di Jakarta Tikungan Iblis digelar di Jogjakarta dan Surabaya dan mendapat sambutan yang cukup antusias.

Menurut Toto rahardjo, salah seorang penggagas dipentaskannya "Tikungan Iblis" ,bagi Teater Dinasti pementasan ini dimaknai sebagai "pentas kebahagiaan". Maksudnya dimana hubungan kemanusiaan dan relasi persaudaraan mendapatkan tekanan, tanpa harus melepaskan diri dari tanggung jawab estetik. "Melalui pementasan ini Dinasti mencoba menghadirkan teater sebagai media untuk menganyam relasi sosial. Diharapkan nilai-nilai kemanusiaan lebih termaknai," katanya.

Tikungan iblis mengisahkan perjalanan eksistensial manusia dari awal penciptaan Adam hingga masa dimana manusia telah berkembang biak dan membangun peradaban. Iblis -yang sejak awal manusia diciptakan sudah tidak percaya bahwa manusia mampu menjadi khalifah di bumi- akhirnya membuktikan ketidakpercayaannya itu. Hidup manusia hanya berkisar dari tiga kata kunci yaitu rakus, merusak bumi dan saling berbunuh-bunuhan.

Umat manusia ternyata tak lebih menjadi wadag/jasad. Tapel bergerak dan beraktualisasi diri lebih didasari insting daripada hati nurani dan akal sehat. Mereka "selalu gagal" untuk menjadi semacam insan kamil, karena ketidakmampuan memilih hal-hal yang bernilai dalam kehidupan.

Kekurangmampuan untuk mengangkat dari kondisinya sebagai mahluk tapel itu juga yang membuat sebuah bangsa selalu mengalami kemerosotan martabat. Padahal bangsa itu semula memiliki gen unggul sebagai "burung garuda" sejati yang memiliki kemampuan untuk terbang, menerkam dan berjuang. Namun karena Garuda itu kemudian dikurung oleh kekuatan yang menindas, maka burung itupun tak lagi memiliki kemampuan dasarnya.

Hal yang menyedihkan adalah anak-anak, cucu dan cicit Garuda bukan hanya tak bisa terbang atau menerkam tapi memang tak lagi memiliki memori untuk terbang dan menerkam. Mereka hanya bisa mematuk makanan dan tidur. Mereka hanya menjadi Garuda kelas tapel bukan Garuda sejati.

Tikungan iblis juga memaparkan degradasi nilai kebangsaan dari semula burung Garuda menjadi burung emprit. Degradasi yang bermula dari masa penjajahan kaum kolonial, kemudian berlanjut pada terbentuknya mental tidak percaya diri dan berujung pada mencairnya karakter dan identitas bangsa. "Kepribadian yang rapuh menjadikan bangsa kita mudah tergoda melakukan berbagai penyimpangan moral, sosial dan politik, namun tindakan tersebut dilakukan secara tidak bertanggung jawab dan akhirnya menimpakan segala kesalahan itu kepada iblis," kata Toto.


Comments

Anonymous said…
teaternya dimana tuh? kalo ada yg gratisan.. aku diajak dunkk. hehee