Skip to main content

Membangun Kesetiakawanan


Kesetiakawanan sosial ternyata memiliki cakupan yang cukup luas. Ada banyak hal yang ternyata berhubungan erat dan memiliki peran yang cukup penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kesetiakawanan tak hanya dalam hal bantu dan membantu saja tetapi terkait erat dengan masalah seperti nasionalisme, pemeretaan ekonomi dan masih banyak lagi.

Lewat sebuah wawancara Saya mewawancarai Yudi Latif, Ph.d direktur reform Institute yang juga merupakan dosen di Universitas Paramadina. Lewat wawancara yang berlangsung di kantor reform institute doktor lulusan Australian National University ini memaparkan berbagai hal yang terkait dengan masalah kesetiakawanan sosial. Lebih jelasnya dipaparkan seperti di bawah ini:
Sebenarnya permasalahan apa yang berhubungan dengan kesetiakawanan sosial yang dialami negeri ini?

Saya kira masalah kesetiakawanan sosial bisa dijelaskan dari tiga level. Pertama dilihat dari tingkat struktural. Saya melihat permasalahan kesetiakawanan di negara kita tengah menghadapi cobaan besar. Contoh nyatanya sepuluh persen yaitu hampir 23,5 juta penduduk menguasai sembilan puluh persen dari perekonomian nasional. Sementara yang sembilanpuluh persen penduduk Indonesia hanya menguasai sekitar sepuluh persen sisanya. Sehingga terjadilah kesenjangan.

Hal lain saya heran ternyata ada juga sekolompok orang yang menguasai lahan segitu besar. Misalnya sebelum tahun 1998 ada seorang pengusaha hutan yang menguasai hingga 5,5 juta hektar. Sesuatu yang tak terjadi di belahan dunia manapun. Dan hingga sekarang masih ada seorang pengusaha yang menguasai sekitar satu juta hektar. Hal yang fantastis sekali. Sementara masih banyak rakyat yang kesulitan akses terhadap tanah. Belum lagi kita dapati pengusaha-pengusaha besar dengan modal besarnya membangun supermall-supermall raksasa yang menggusur pasar rakyat. Menurut saya memang ada masalah memang pada tingkat struktural.

Sebagaimana sudah diamanatkan oleh konstitusi kita bahwa bumi, air dan isi yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-sebarnya untuk kepentingan rakyat. Tapi di lapangan bisa kita dapati kekuatan korporat internasional yang menguasai sumber-sumber daya yang semestinya dikuasai oleh negara. Seperti persoalan pada akuisisi Indosat dan sebagainya.

Masih di tingkat struktural bisa kita dapati juga kesenjangan antar wilayah. Antara pusat dengan daerah, antar pulau, hal seperti itu yang kadang-kadang bisa menyebabkan aspirasi-aspirasi separatisme, juga kesenjangan, mungkin antar etnis atau antar golongan.

Kedua dilihat dari tingkat Institusional. Pada tingkat ini mungkin kesetiakawanan sosial menghadapi ujian dalam lemahnya kemampuan untuk melembagakan kesetiakawanan sosial dalam satu institusi. Tak ada yang bisa memperkuat basis solidaritas yaitu tentang aspek kesetaraan, kesejahteraan bersama. Akibatnya Terganggulah proses-proses jejaring sosial. Jaringan sosial kita, kapasitas civil society yang dulu jadi penyangga masyarakat banyak yang sudah mengalami politisasi yang intens.

Ada institusi formal kelembagaan politik atau institusi non formal. Seperti jaring keagamaan dan sebagainya. Kelembagaan-kelembagaan politik ini belum sepenuhnya mampu mengakreditasikan kepentingan masyarakat seperti partai politik. Mestinya bangunan kesetiakawanan ini harus menemukan ruang institutionalisasinya dimana pendapat mereka bisa diartikulasikan, aspirasi mereka bisa disalurkan. Banyak parta-partai politik yang sekarang mengalami gejala alienasi. Atau masyarakat teralienasi dari peristiwa politik. Tingkat keterlibatan, kemampuan dan kapasitas masyarakat untuk turut terlibat mempengaruhi pengambilan keputusan yang mempengaruhi kesejahteraan hidup bersama itu juga mampat karena tidak mampunya partai politik sebagai alat untuk mengakreditasikan.


Apakah artinya masyarakat tersebut sepenuhnya menyerahkan keputusannya pada mereka yang di atas?

Partai politik yang semestinya memiliki kepentingan untuk menampung aspirasi tapi justru bias terhadap kepentingannya sendiri. Hal seperti Itu yang terkadang menimbulkan gejala kebencian masyarakat terhadap politik lalu terkungkung dalam kepompong-kepompong budaya yang sempit. Jadi misalnya institusi-institusi gagal menampung aspirasi banyak orang akhirnya timbulah gejala masyakat kembali pada sumber-sumber dimana mereka bisa menemukan perlindungan serta ruang untuk mengekspresikan diri. Hal Inilah yang menyebabkan timbulnya gejala fundamentalisme keagamaan, hilangnya nasionalisme hingga munculnya sekte-sekte aliran yang sesat. Artinya mereka tidak menemukan perlindungan dan pembelaan pada institusi-institusi tersebut.

Di dalam institusi agama juga terjadi hal seperti itukah?

Di agama sendiri ketika pemimpin-pemimpin agama menjadi sumber simpul solidaritas yang menjadi rujukan dari rakyat ketika terjadi persoalan mengeluh, mengaduh dan sekarang banyak simpul-simpul ini yang mengalami erosi kewibawaan. Hal itu terjadi karena seringkali pemimpin membawa agama sebagai alat bargaining politik. Akhirnya masyarakat mencari alternatif-alternatif yang diluar sumber-sumber kemapanan dengan bersandar pada tokoh-tokoh karbitan yang hubungannya cukup intesn. Karena muncul gerakan-gerakan fundamentalis yang cukup intens berkomunikasi mau menyapa mereka meskipun kapasitas ilmunya tidak ada tapi cukup dekat. Atau juga premanisme ketika masyarakat di pasar-pasar gagal menemukan pembelaan dari negara, serta organisasi masyarakat yang lain. Mereka mungkin berfikir ya sudahlah kalau begitu saya terikat dalam solidaritas kepremanan untuk bisa mendapat perlindungan.



Ketiga kita bicara pada level personal. Sebenarnya kalaupun kita masih punya optimisme pada tingkat emosi personal masih bertautan antar masyarakat, sensitivitas terhadap masyarakat lain sebenarnya masih cukup kuat. Hal ini terlihat ketika ada bencana orang bisa lebih besar dari dirinya sendiri. Sehingga agama apapun yang menjadi korban mereka akan bantu. Ternyata masih ada solidaritas tersebut.



Praktis sebenarnya meskipun di kota besar orang semakin cuek satu sama lain seolah-olah tak ada keperdulian tapi kalau hatinya tergerak ada sesuatu momen yang menggugah kesadarannya bisa menyumbang atau berderma masih ada. Cuma solidaritas emotional ini kadang-kadang karena sifatnya kelevel bawah sadar ditekan oleh persoalan struktural konstitutional tidak menjadi kebutuhan sehari-hari yang ajeg. Jadi baru terbangkit ketika ada stimulus yang besar seperti ada bencana atau apa. Jadi kepekaan pada tingkat personal terhambat oleh tingkat struktural dan institusional. Karena itu kalau kita bicara tentang kesetiakawanan sosial maka kita harus mencari suatu kontinyu. Jadi ada keberlanjutan dari segi sikap, pemupukan karakter, bagaimana orang bisa rasa kemanusiaan ditumbuhkan. Pada tingkat personal ini yang mungkin bisa. Pendidikan budi pekerti, itu harus didukung dengan kapasitas institusional dan struktural.



Kondisi yang terjadi di level struktural sudah sedemikian mengkuatirkankah dengan berbagai gejolak yang timbul?



Parah sekali situasinya karena kalau kita lihat angka kemiskinan kita sekarang dalam kisaran 40 juta sementara sektor riil juga tidak bekerja dengan baik. Uang hanya berputar di bursa. Hanya aspek makro ekonomi. Jadi yang menarik kestabilan makro ekonomi hanya segelintir orang yang bermain di bursa. Sementara masyarakat banyak tak bisa hidup dalam fantasi valas seperti itu. Masyarakat dihadapkan pada problem sehari-hari bagaimana dia bisa makan atau menyekolahkan anak.Untuk mengatasi hal diatas hak-hak ekonomi mereka harus segera difungsikan.



Sebenarnya kondisi kesenjangan seperti ini apakah hanya terjadi di negara kita?



Saya kira memang hal ini bukan hanya berlaku di negeri kita. Kita bisa belajar juga dari Amerika Serikat. Saat ini orang-orang Amerika mulai takut tentang munculnya dan berkembangnya fragmentasi dalam bangsa dan hilangnya apa yang mereka sebut solidaritas.



Menurut Paul Crugman seorang penulis ekonomi yang terkenal dalam bukunya “kesadaran seorang liberal” mengatakan bahwa sekarang ada ancaman terhadap orang Amerika yaitu ancaman tentang fragmentasi munculnya fanatisme, hilangnya solidaritas, rasa keamerikaan dan kebersamaan.



Crugman bilang kondisi ini terjadi sejak tahun 1970an. Hal ini mengulang situasi sebelum perang dunia kedua. Sebelum perang dunia kedua Amerika mengalami gejala ketidakseimbangan yang menimbulkan situasi kacau yang luar biasa. Sehingga muncul tokoh yang bernama Franklin Delano Roosevelt (FDR) dengan konsepnya New Deal.



FDR muncul untuk memulihkan Amerika sebagai suatu entitas bangsa dengan solidaritas yang kuat dengan konsep new deal. Konsep ini berbasis pada negara kebangsaan. Intinya adalah untuk mengurangi kesenjangan sosial, sehingga harus dibuka lapisan strata masyarakat dengan memperbanyak lapis kelas menengah. Caranya dengan meningkatkan kesejahteraan, pajak progresif dinaikan. Semakin kaya pajaknya harus semakin tinggi. Pemerintah memberi akses lebih kepada pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial.



Dengan perlakuan seperti banyak orang-orang yang tadinya kelas pekerja mengalami peningkatan taraf hidup. Akibatnya muncul mobilitas vertikal dari masyarakat kelas bawah ke kelas atas. Yang terjadi hanya dalam waktu beberapa puluh tahun terjadi lapis menengah yang besar. Lapis menengah ini yang menjadi jembatan konflik antar kelas.



Konflik idiologi yang cukup tajam antara lapis bawah dan atas dimoderasikan oleh lapis menengah. Selama ini kecenderungan lapis menengah memang tidak terlalu fanatik dalam politik. Mereka tidak mati-matian terhadap satu partai politik. Selain itu juga terjadi konsensus yang meluas untuk hal-hal yang fundamental. Orang akan memilih partai apapun karena programnya bukan atas dasar fanatis idiologis.



Tahun 1970an politik lagi lagi memutar pendulum keadaan ini. Ketika partai republik yang konservatif mengambil alih massa terutama Ronald reagen dan kawan kawan. Mereka memutar kembali jarum jam sebelum perang dunia kedua dimana kebijakan ekonomi politik berpihak pada kalangan kapitalis. Pajak progressif juga dihilangkan. Sekarang bahkan Amerika adalah satu-satunya negara maju yang tak memiliki asuransi kesehatan. Akibat lanjutnya kesenjangan kembali menganga diikuti munculnya pertengkaran politik. Sekali lagi antara konservatif dan liberal. Agama kembali dijadikan kendaraan dengan dimobilisasikannya kaum evangelish.



Berbasis dari ini kita juga bisa melihat dari situ kesetiakawanan sosial itu harus ada basis kesetaraannya. Seperti yang disebut Hatta bahwa demokrasi politik harus sejalan dengan demokrasi ekonomi karena tanpa demokrasi ekonomi cita-cita kebebasan ini tidak akan terwujud. Orang bisa saling mengekploitasi satu sama lain dan akan memperebutkan bangunan kesetiakawanan sosial itu.



Hubungan kesetiakawanan dengan nasionalisme?


Jadi ada hubungan dengan rasa memiliki Indonesia terutama dalam situasi plural. Masyarakat majemuk itu justru biasanya terdiri dari berbagai unsur yang sulit menyatu kedalam unit politik. Biasanya dalam satu masyarakat seperti ini tindak kolektif itu susah dibangun kecuali ada musuh bersama dari luar seperti yang terjadi pada waktu penjajahan Belanda kita bisa mobilisasi. Kedua tentang cita-cita tentang kesejahteraan bersama. Disini yang sangat krusial sekarang musuh sudah tidak ada. Sekarang cita-cita tentang kesejahteraan bersama juga terancam. Ada teritori tertentu dari masyarakat yang merasa dimarjinalkan dan merasa tidak punya manfaat apa-apa lagi dari keindonesiaan itu. Jadi solidaritas yang horizontal seperti yang dikatakan Ben Anderson itu mengalami keluluhan. Setelah kemerdekaan mestinya cita-cita kemerdekaan ini yang diwujudkan namun secara struktural ternyata tidak mendukung.



Apa yang disebut oleh Ernest sebagai kesamaan wilayah dan kesamaan sejarah. Ada kesamaan-kesamaan kultural, bahasa. Mungkin juga solidaritas-solidaritas keagamaan yang luas. Membangun solidaritas yang dibangun atas dasar persamaan sejarah. Ada juga persamaan agama, bahasa, hal Itu memberikan kekuatan emosional yang masih cukup bisa mengikat kita. Namun tanpa ada perbaikan pada level struktural setiap saat bisa koyak.


Untuk menyeimbangkan Gap yang ada harusnya seperti apa?


Kita sekarang selain persoalan mekanisme yang tadi itu ; struktural, institusional dan personal. Aktor yang berperan sebagai penjaga disini juga ada tiga aktor utama. Kita bisa mendeliver kesejahteraan sekaligus menjaga bagaimana kesetiakawanan sosial itu bisa bertahan bersama aktor negara. Negara punya peran besar untuk merajut solidaritas. Saya kira pasal-pasal tentang kesejahteraan begitu kuat.


Dulu founding father kita membayangkan koperasi sebagai suatu solidaritas ekonomi tapi juga masih jauh dari harapan. Itu negara. Negara kita juga belum banyak melindungi soal sosial security. Bahkan pendidikan kini cenderung tidak terjangkau.

Pasar juga harus mewujudkan apa yang disebut dengan pasar kesejahteraan sehingga harus mencegah timbulnya monopoli atau kontrol dari segelintir orang yang mematikan banyak orang untuk berusaha. Nampak bahwa di satu sisi tampak demokratisasi memang memberi ruang bagi pelaku individu untuk mengembangkan usahanya tapi di dalam ketiadaan suatu regulasi negara yang baik ketiadaan misalnya iklim atau jaminan kompetisi usaha yang fair. Untuk itu kita sekarang ada komite persaingan usaha. Tapi faktanya masih menunjukkan bahwa persaingan sempurna yang diimpikan para pendukung pasar itu. Padahal pasar telah memberikan maslah bagi banyak orang.

Jejaring community membentuk filantropi itu sangat penting sebagai jejaring sosial yang justru berperan sebagai bumper ketika negara dan pasar tidak terlalu baik. Di Indonesia justru sekarang nepotisme, korupsi merajalela. Hal itu karena usaha untuk mendirikan dan menegakkan kesejahteraan terlalu bergantung pada inisiatif community, misalnya suku tertentu, agama tertentu dan sebagainya. Bahkan misalnya kalau tidak mempunyai kekuatan community redistribusi kekayaan itu mekanismenya susah di Indonesia. Misalnya ketika lebaran itu berapa triliun uang yang dibawa dari pusat ke daerah. Hal itu karena basisnya community.

Coba kita lihat kalau basisnya pada negara dan pasar. Bank Rakyat Indonesia namanya ada rakyatnya tapi karena yang dikembalikan ke rakyat kecil itu hanya berkisar 5 persen saja. Padahal dana tersebut diambil dari rakyat. Tapi diberikan pada pemilik modal-modal besar. Itu yang menyebabkan kenapa? Karena negara dan pasar kuranng jadi penyangga solidaritas tersebut. Memberikan tekanan pada community untuk mengambil alih tugas-tuagas kesejahteraan.


Akibatnya apa? Merajalelalah nepotisme. Karena orang punya jabatan misalnya segera saja dia jadi penyangga saudara-saudaranya yang banyak untuk kerja, berusaha.


Kenapa hal seperti itu bisa terjadi?

Kalau negara dan pasarnya bisa bekerja baik maka tekanan individu untuk menjadi penyangga keluarga itu kecil. Karena ada jaminan dari negera atau pasar bisa menyerap kerja dan usaha. Hal itu yang jadi masalah. karena tekanannya ada pada community akhirnya menimbulkan problematik pada tingkat sosial yaitu munculnya mental-mental raja kecil di berbagai sektor dan juga berbagai tempat. Itu juga yang membuat bangunan demokrasi kita rapuh secara politik. Karena demokrasi mestinya memperkuat warga negara tapi nyatanya demokrasi itu berubah menjadi oligarki karena memang basis partisipasinya terlalu mengandalkan kekuatan-kekuatan komuniti dalam kekuatan yang sangat timpang. Pada tingkat sosial menimbulkan kecemburuan yang dalam situasi chaos itu bisa berubah menjadi anarkisme.

Saat ini yang bisa dilakukan apa sebenarnya?

Kepercayaan publik itu yang paling utama. Kepercayaan publik harus dihidupkan dengan memulihkan otoritas kepemimpinan. Dalam situasi krisis kepemimpinan itu diperlukan kapan saja dan dimana saja. Tapi dalam situasi krisis peran kepemimpinan dituntut lebih banyak. Karena tentu krisis itukan terjadi misorganisasi sosial, kekacauan sistem pranata hukum. Terjadi banyak ketidakpastian. Dan situasi itu perlu ada jangkar kepastian.

Pemimpin harus memberi kompensasi bagi lumpuhnya sistem organisasi sosial untuk menegakan kewibaan. Para pemimpin itu harus sadar bahwa dia ada di posisi penting. Kalau dia di posisi agama misalnya ulama dia justru harus berperan terhadap moral. Untuk menyangka kalau-kalau pemimpin politik dan psar gagal masih ada bumper untuk mencari keseimbangan.Tapi kalau ulama juga masuk dalam suatu transaksi politik menggunakan untuk kepentingan pribadi mengabaikan fungsi utama sebagai penyangga masyarakat itu rakyat tersandung pada tingkat informal bisa tersandung.


Pada tingkat kenegaraan atau politik sudah jelas tugasnya mereka harus memiliki public life principle. Harus punya komitmen pada public life. Ini kelemahan banyak pemimpin kita karena kesadaran publik masih kurang. 

Comments