Menapak Jalan Terjal
Kisah Parman Menapaki Jalan terjal
Saat itu pertengahan tahun 1984 wajah Parman begitu sumringah. Maklum baru saja ia menerima surat pengangkatan sebagai guru sekolah dasar di SDN Gunung Agung. Dalam angannya ia akan menempati salah satu sekolah di daerah di Gunung Agung yang berjarak kurang lebih 8 km. Bukan hal yang sulit mengingat aksesnya termasuk jalan kecamatan.
Anggapan Parman ternyata salah besar ternyata bukannya ditempatkan di wilayah Gunung Agung tetapi di SDN Gunung Agung sekolah baru yang berlokasi di daerah Plampang. Wilayah tersebut terletak kurang lebih 10 km dari pusat kecamatan Kokap ke arah Barat. Waktu itu belum ada akses yang memadai jangankan angkutan motor saja bisa. Satu-satunya cara untuk menuju kesana hanya bisa dilakukan dengan berjalan kaki. Untuk menuju kesana dengan jalan kaki kira-kira menghabiskan waktu sejam lebih.
Menerima satu fakta demikian keikhlasan dan panggilan pengabdian Parman diuji. Satu tantangan pengabdian yang kemudian dengan iklas diterima dan diambil Parman dengan sangat lapang dada. Mengabdi sepenuh hati kata-kata yang selalu ada dan dipupuk di pikiran dan lubuk hatinya. Berkat ketulusan dan semangat pengabdiannya itulah akhirnya Parman diberi penghargaan oleh Pemerintah. Ia termasuk salah satu dari dua guru yang dipilih menjadi wakil DIY untuk menerima penghargaan sebagai guru berdedikasi di Jakarta.
Parman lahir pada tanggal 4 Juni 1960 di Kulon Progo. Desa kelahiran parman adalah Desa Sangkrek Hargorejo Kecamatan Kokap Kabupaten Kulon Progo. Ia terlahir dari pasangan Kasan Nadi dan Setilah anak keempat dari 5 bersaudara. Mereka Orang tua Parman hanyalah petani biasa yang tingkat ekonominya pas-pasan. Semenjak usia 3 tahun Parman ditinggal Bapaknya dan menjadi anak yatim.
Ditinggal bapak sejak kecil membuat Parman dalam kondisi serba prihatin. Biaya pendidikan ditanggung kakaknya. Dengan kondisi seperti itu ternyata tak menyurutkan langkahnya. Ia tetap berusaha untuk bisa sekolah hingga jenjang tinggi.
Dalam usahanya meraih jenjang pendidikan yang tinggi selain ditempuh dengan tantangan fisik ia juga harus pontang panting berusaha. Dengan segala tekad ia mencari biaya kiri kanan dengan beternak sapi, membantu sana sini dan dengan satu tujuan untuk mencari biaya tambahan. Lulus menjadi sarjana dari IAIN Sunan Kalijaga pada tahun 1988 waktu itu ia sudah diangkat menjadi guru di SDN Gunung Agung.
Parman menikah pada tahun 1992 dengan adik kelasnya sewaktu kuliah, Sulastri yang juga seorang guru di salah satu SMP di Bantul. Dari hasil pernikahannya itu ia dikaruniai 2 orang anak Ana Lailiana dan Isna Alfanawas, semuanya putri. Anak pertamanya kini sudah duduk di bangku SMP kelas 3 sedang yang kedua kelas 2 SD.
Sebenarnya awal Parman tak pernah bercita-cita menjadi seorang guru. Berkat arahan kakaknya yang ada di pondok pesantren setelah lulus SD ia kemudian masuk PGA. Waktu itu rekan-rekan satu angkatanya kebanyakan ke SMP hanya ia sendiri yang melanjutkan ke PGA.
Bagi Parman tak jadi masalah ditempatkan dimanapun.“Yang jelas di sini mengajar di sana mengajar. Saya bekerja akan kelihatan hasilnya,” katanya. Menurutnya lagi kalau berada di tempat yang maju mungkin dirinya tak bisa melihat seberapa hasil kerjanya namun kalau di daerah seperti itu setelah ia mengajar akan bisa terlihat seberapa hasil atas apa yang ia lakukan. “Kalau ada perubahan setelah saya mengajar berarti ada kemajuan,” tambahnya.
Setelah Parman berada di sana khususnya untuk bidang studi pendidikan Agama islam sudah ada kemajuan. Kenangnya dulu ketika awal datang kesana kondisinya masih nol. Pemahaman tentang agama Islam masih nol. Dulu belum ada yang menjalankan ibadah sholat, belum ada sarana ibadah tapi sekarang sudah ada. Hal itu menjadi satu lahan baru baginya untuk beribadah. Memberi pemahaman agama sesuai dengan prinsip Islam sehingga sampai saat ini sudah ada kemajuan. “Walaupun di daerah sulit saya akan merasa puas melihat anak dulunya tidak mengerti dan faham agama kini sedikit mengerti. Mereka sudah bisa sholat dan wudhu,” kata Parman.
Mochamad Fathoni Arief (Kulon Progo)
Anggapan Parman ternyata salah besar ternyata bukannya ditempatkan di wilayah Gunung Agung tetapi di SDN Gunung Agung sekolah baru yang berlokasi di daerah Plampang. Wilayah tersebut terletak kurang lebih 10 km dari pusat kecamatan Kokap ke arah Barat. Waktu itu belum ada akses yang memadai jangankan angkutan motor saja bisa. Satu-satunya cara untuk menuju kesana hanya bisa dilakukan dengan berjalan kaki. Untuk menuju kesana dengan jalan kaki kira-kira menghabiskan waktu sejam lebih.
Menerima satu fakta demikian keikhlasan dan panggilan pengabdian Parman diuji. Satu tantangan pengabdian yang kemudian dengan iklas diterima dan diambil Parman dengan sangat lapang dada. Mengabdi sepenuh hati kata-kata yang selalu ada dan dipupuk di pikiran dan lubuk hatinya. Berkat ketulusan dan semangat pengabdiannya itulah akhirnya Parman diberi penghargaan oleh Pemerintah. Ia termasuk salah satu dari dua guru yang dipilih menjadi wakil DIY untuk menerima penghargaan sebagai guru berdedikasi di Jakarta.
Parman lahir pada tanggal 4 Juni 1960 di Kulon Progo. Desa kelahiran parman adalah Desa Sangkrek Hargorejo Kecamatan Kokap Kabupaten Kulon Progo. Ia terlahir dari pasangan Kasan Nadi dan Setilah anak keempat dari 5 bersaudara. Mereka Orang tua Parman hanyalah petani biasa yang tingkat ekonominya pas-pasan. Semenjak usia 3 tahun Parman ditinggal Bapaknya dan menjadi anak yatim.
Ditinggal bapak sejak kecil membuat Parman dalam kondisi serba prihatin. Biaya pendidikan ditanggung kakaknya. Dengan kondisi seperti itu ternyata tak menyurutkan langkahnya. Ia tetap berusaha untuk bisa sekolah hingga jenjang tinggi.
Dalam usahanya meraih jenjang pendidikan yang tinggi selain ditempuh dengan tantangan fisik ia juga harus pontang panting berusaha. Dengan segala tekad ia mencari biaya kiri kanan dengan beternak sapi, membantu sana sini dan dengan satu tujuan untuk mencari biaya tambahan. Lulus menjadi sarjana dari IAIN Sunan Kalijaga pada tahun 1988 waktu itu ia sudah diangkat menjadi guru di SDN Gunung Agung.
Parman menikah pada tahun 1992 dengan adik kelasnya sewaktu kuliah, Sulastri yang juga seorang guru di salah satu SMP di Bantul. Dari hasil pernikahannya itu ia dikaruniai 2 orang anak Ana Lailiana dan Isna Alfanawas, semuanya putri. Anak pertamanya kini sudah duduk di bangku SMP kelas 3 sedang yang kedua kelas 2 SD.
Sebenarnya awal Parman tak pernah bercita-cita menjadi seorang guru. Berkat arahan kakaknya yang ada di pondok pesantren setelah lulus SD ia kemudian masuk PGA. Waktu itu rekan-rekan satu angkatanya kebanyakan ke SMP hanya ia sendiri yang melanjutkan ke PGA.
Bagi Parman tak jadi masalah ditempatkan dimanapun.“Yang jelas di sini mengajar di sana mengajar. Saya bekerja akan kelihatan hasilnya,” katanya. Menurutnya lagi kalau berada di tempat yang maju mungkin dirinya tak bisa melihat seberapa hasil kerjanya namun kalau di daerah seperti itu setelah ia mengajar akan bisa terlihat seberapa hasil atas apa yang ia lakukan. “Kalau ada perubahan setelah saya mengajar berarti ada kemajuan,” tambahnya.
Setelah Parman berada di sana khususnya untuk bidang studi pendidikan Agama islam sudah ada kemajuan. Kenangnya dulu ketika awal datang kesana kondisinya masih nol. Pemahaman tentang agama Islam masih nol. Dulu belum ada yang menjalankan ibadah sholat, belum ada sarana ibadah tapi sekarang sudah ada. Hal itu menjadi satu lahan baru baginya untuk beribadah. Memberi pemahaman agama sesuai dengan prinsip Islam sehingga sampai saat ini sudah ada kemajuan. “Walaupun di daerah sulit saya akan merasa puas melihat anak dulunya tidak mengerti dan faham agama kini sedikit mengerti. Mereka sudah bisa sholat dan wudhu,” kata Parman.
Mochamad Fathoni Arief (Kulon Progo)
Post a Comment for "Menapak Jalan Terjal"
Ingin Memberi komentar