Skip to main content

Gadis Kecil Yang Berdiri Memandang Rembulan


Gadis kecil termenung dibawah naungan cahaya sang rembulan. Saat ini merupakan untuk kesekian kali ia memandangi benda berbentuk lingkaran dan memancarkan cahaya putih itu. Pandangan yang begitu mengharap seakan dirinya ingin memegang, memeluk bulan, mencium dan jika mungkin membawa masuk rumah sebagai teman tidur.

"Kuteringat kejadian kemarin, dua hari lalu, tiga hari lalu, seminggu lalu, sebulan lalu, setahun lalu, sepuluh tahun lalu rasanya sama saja. Aku masih belum menemukan jawaban dari sang rembulan yang kunanti"


Sang gadis tetap saja termenung berdiri tegak memandang rembulan. Di halaman depan sebuah rumah sederhana di pinggir jalan provinsi sebuah kotakecil itu. Dia masih ingusan tahu apa tentang hidup. Seorang yang masih bau kencur.

"Wahai sang rembulan sahabatku tahukah kamu tentang kesepianku kali ini?"
"Ah tak usah kau tanya tentang sebuah kesepian. Tak usah tanya tentang kesendirian. Kau sudah memiliki semuanya. Bertanya tentang kesepian, kerinduan hanyalah bagi orang-orang yang tak berpengharapan lagi", Dia bertanya dan dia jawab sendiri pertanyaan itu. Sang gadis kecil berada pada dua dunia yang ia ciptakan sendiri.

Bertahun-tahun waktu berlalu. Terus saja berjalan mengikuti proses alam. Semua terus berjalan. Termasuk perjalanan sang waktu. Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, tahun demi tahun.


Sang gadis kecil saat ini memang bukan lagi seperti sepuluh atau
limabelas tahun lalu. Ia wanita yang menjelang dewasa. Gadis yang diwajahnya terpancar pantulan rembulan yang membuatnya memiliki daya magnet kuat. Sebuah energi yang mampu menarik petualang-petualang penjaja asmara pemuja rasa.

"Hai gadis kecil Kenapa kau terus-terusan pandangi rembulan?", sang rahasia malam bertanya pada sang gadis kecil. Sang rahasia malam yang berjalan diantara hembusan angin liar terhenti melihat sang gadis yang kini tak hanya didepan sebuah halaman tapi terduduk sendiri di atap penantiannya.


"Tak usah kau bertanya karena jawabanku tak akan mampu kau mengerti. Sang rembulan adalah sahabatku, pendamping saat kesepianku, ia mungkin sudah seperti ibuku",
"Kekasihku aku merasakan ada kejutan gejala dalam mekanisme urat syarafku. Kuanalisa, fenomena itu timbul suatu suatu rangsangan tertentu dari sesuatu yang menggetarkan seluruh sistem nilai dalam diriku. Rangsangan itu adalah engkau, satu tesis baru."(*)

Sang gadis kecil masih terdiam.

"Datanglah padaku disana angin liar terlalu bahaya buatmu. Tubuhmu akan terkoyak, jiwamu akan sobek, hatimu akan karam oleh hembusan angin liar", Sang rahasia malam begitu iba melihat sang gadis kecil.


"Angin liar tak akan melukaiku bahkan aku ingin menjadi seperti dia. Harapanku bahkan ia terus berdatangan dan membawaku dalam perjalanan bebasnya. Aku bisa kemanapun yang kumau, bergerak, menari sesuka apa yang terbersit dalam angan dan hatiku ",

"Kau ikut saja aku. Aku akan memelukmu, memberimu kehangatan, melindungimu, menaungimu dalam sebuah lingkaran rahasia malamku", sang rahasia malam berusaha membujuk sang gadis kecil. Sang gadis tak bergeming sedikitpun dari perenungannya. Ia memilih sendiri, menunggu sang rembulan yang dijanjikan akan diberikan padanya.

"Apa yang kau tawarkan padaku agar kumau menyambutmu, mendatangimu, jatuh kepelukanmu", tanya sang gadis. Pelan-pelan ia mulai menunjukan ketertarikan atas lantunan rahasia malam yang telah terucap.


"Sebuah singgasana, sebuah lindungan, sebuah kepercayaan dan aku akan memberi yang kau inginkan rembulan yang telah kukantongi", jawab sang rahasia malam.
"Hei..aku sudah menikmati kehidupanku. Aku sudah dalam pelukan kebekuanku, dalam dekapan kesendirianku. Kau bukan yang pertama kali mendatangiku. Kutahu ini hanya akal bulusmu. Kutahu suatu saat kau juga akan meninggalkanku. Akan mencampakkanku seperti mereka yang datang lebih dulu darimu. Aku memilih sendiri menunggu rembulan yang dijanjikan padaku".

Sang rahasia malam hanya terdiam. Ia tak bisa berkata-kata. Lidahnya kelu. Ia hanya terpaku ia mencoba bertahan hingga akhirnya rahasia malam itupun tersapu oleh angin lalu.

Sang gadis tetap di tempatnya. Sekali lagi pandangannya tertuju pada rembulan itu ia tak berpaling sedikitpun.


"Aku ingin jadi angin liar", katanya dalam hati.

Dari kejauhan sang rahasia malam masih saja berusaha untuk merengkuhnya, mendapatkannya bahkan menculiknya. Sang rahasia malam tak punya cukup banyak nyali buat semua itu. Pelan-pelan ia bergeser dan akhirnya benar-benar menyingkir saat kabut tebal menutupi pandangannya. Sang gadis kecil tak lagi terlihat olehnya.

Di balik kabut sang realita mendatangi sang gadis dengan kuda putihnya. Di balik punggungnya dalam tas yang dibawanya ternyata telah tersimpan sebuah rembulan bukan dari pasar loak yang dipersembahkan buat sang gadis kecil.

Sang gadis kecil tersenyum. Es yang sempat membekukan hatinya mulai meleleh. Kini ia tersenyum dan impiannya terwujud mendapatkan sebuah rembulan. Tubuhnya kini terbang dengan rembulan pemberian sang realita. Ia berputar berhembus benar-benar menjadi angin liar.


(*)Mas pinter yang genit ( Emha ).
Jetis, Bantul 170606
(Didedikasikan bagi sang gadis kecil yang telah mendapatkan rembulannya. Moga saja rembulan yang kini ia miliki tak seperti yang pernah diberikan sang rahasia malam dulu; yang telah terjual di pasar loak".