Skip to main content

Kisah Naftali Si Anak Gunung Seberangi Lautan

Tak banyak orang yang bersedia ditugaskan ditempat yang jauh dari daerah asal, apalagi jika daerah tersebut terpencil dan susah dijangkau. Salah satu dari sedikit orang yang memiliki dedikasi tinggi bersedia lakukan itu adalah Naftali Asmuruf. Pria yang saat ini menjadi Kepala Sekolah Dasar Inpres 31 Tanah Merah, Warmare, Manokwari, Papua Barat.

Naftali yang dilahirkan dibesarkan di daerah Aitinyo dengan kondisi pegunungan ini menerima tugas berat mengajar di sebuah pulau terpencil yang harus ditempuh dengan cara mendayung berjam-jam dari daratan. Waktu itu jangankan mendayung, berenang saja ia tak mampu. Maklum sejak kecil ia memang jauh dari wilayah perairan dan terbiasa dengan jalan darat. ”Antara di tempat asli saya dengan tempat tugas perbedaannya sangat jauh. Karena kalau daerah pegunungan kita lalui semuanya dengan berjalan kaki. Tapi untuk daerah pulau itu harus dengan mendayung sementara saya tak bisa berenang. Sampai saat saya nikah dengan istri, istri saya yang mengajari dayung, berenang,” katanya.

Naftali Asmuruf merupakan putra asli bumi Papua. Ia lahir pada tanggal 18 Agustus 1968, di distrik Aitinu kabupaten Sorong, Papua Barat. Ia merupakan putra pertama dari Titus Asmuruf dan Elisabeth Antoh. Keluarganya merupakan keluarga besar. “ Saya merupakan 8 bersaudara. Dari 8 bersaudara itu yang hidup hingga saat ini ada 3 orang,” katanya.

Kini di keluarganya yang masih hidup hanya Naftali dengan kedua orang adiknya. Kelima orang saudara sudah meninggal saat masih kecil, ayah meninggal pada tahun 1999 dan ibu meninggal pada tahun 2003.

Dari 3 bersaudara itu baru Naftali yang sudah berkeluarga. Saudaranya yang satu yaitu Ronxina Asmuruf lahir 23 tahun lalu di Aitinu Sorong, seorang sarjana Ekonomi dan kini berada di Sorong sedangkan saudara yang bungsu Octovianus Asmuruf, lahir 20 tahun lalu di Aitinu, karena orang tua meninggal akhirnya putus sekolah hanya tamat SMP dan kini kerja serabutan. ” Bisa dikatakan waktu itu kami hanya anak yatim piatu yang hidup bersama tanpa kedua orang tua,” katanya.

Naftali menempuh pendidikan Sekolah Dasar di distrik Aitinu, Sorong. Ia tamat pada tahun 1982. Waktu itu menurutnya banyak sekali kendala yang dia alami. Selain jalan setapak pegunungan yang sulit dijangkau, kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan juga sangat kurang. Orang tua siswa di daerahnya terkadang untuk mencukupi kebutuhan harus pergi ke hutan selama berhari-hari biasanya kalau sudah seperti itu anak juga mereka ajak. ”Seringkali kalau orang tua pergi kami juga diajak ikut. Mereka tidak bisa meninggalkan kami sendirian di sekolah,” kata Naftali.

Berdasarkan SK CPNS tahun 1991 Naftali ditugaskan ke pulau Yobmeos untuk mengajar di SD Yobmeos distrik Windesi. Menurutnya di daerah tempat dia ditugaskan tersebut waktu itu sangat kekurangan tenaga pengajar. “Tidak ada orang yang bersedia untuk tugas di tempat itu. Karena terdapat banyak kesulitan,” katanya.

Tanpa berfikir panjang dengan satu niat menjalankan tugas Naftali bersedia untuk ditempatkan di SD Yobmeos. Keputusannya tersebut bukannya tanpa halangan. Banyak dari rekan-rekannya yang menanyakan apakah dirinya siap. Bahkan ada salah seorang rekannya yang tahu persis bagaimana kondisi di tempat tersebut bertanya padanya. ”Bapak di tempat tugas bapak itu isinya orang yang lagi kelaparan. Di sana tidak ada makanan. Kok bapak bersedia kesana?” tanya seorang rekan pada Naftali.

Pertanyaan tersebut difahaminya seakan akan mengingatkan bahwa dia adalah orang gunung. Mana mungkin bisa bertahan di sana. Daerah pulau yang secara budaya dan kehidupan sehari-hari sangat berbeda.” Saya adalah orang pegunungan yang tidak tahu bagaimana cara menyeberang laut, mendayung juga tidak bisa,” kata Naftali.

Mendengar pertanyaan tersebut Asmuruf pun menjawab. ”Benar seperti yang anda sampaikan. Tapi saya ingin bertanya. Di sana ada burung?,” tanya Asmuruf.

” Tidak ada,” jawabnya,

” Disana ada manusia?” tanya Asmuruf,

” Ada,” jawabnya,

” Hidup atau mati?” kembali Asmuruf bertanya,

” Hidup,” jawabnya,

” Kalau mereka hidup saya juga hidup,” kata Asmuruf dengan mantap.

Naftali pun mantap untuk menuju tempat tugasnya. Berbagai persiapanpun ia lakukan. Tak lama setelah mendapat SK pada tahun 1991 iapun berangkat. Sejak itu juga ia sering melakukan perjalanan memakai transportasi laut, menyeberangi lautan menuju tempat tugasnya di Pulau Yobmeos. Menurut Naftali pulau Yobmeos memiliki luas kira-kira 35 Km2. Pada waktu ia tinggal di sana penduduknya sekitar 76 KK. Kondisi pulau tersebut masih hutan rimba.

Naftali menuju tempat tugasnya dengan menggunakan Kapal kayu. ” Dari rumah tinggal di Manokwari ke pelabuhan, saya menggunakan taksi. Jarak dari rumah ke pelabuhan saya perkirakan 10 km,” kenangnya. Sesampainya di pelabuhan ia mengurus untuk pembelian tiket. Menurutnya pada tahun 1991 tiket penumpang seharga 15 ribu rupiah. ”Setelah membeli tiket dan waktunya ditentukan bahwa kami harus berangkat pada malam hari. Kami berangkat sekitar jam 10. Pagi kami sudah menyeberang lautan,” katanya.



Comments