Skip to main content

Kisah Tentang Saya dan Mereka (2)



Bapak penjual penthol duduk di gundukan bekas bangunan. Perlahan dia menghisap rokoknya. Saya mendekati penjual penthol seperti biasa basa-basi sekedar mencairkan suasana dan memulai sebuah pembicaraan ringan.

Bapak tersebut bercerita banyak hal. Tentang jualannya dan bagaimana di menjajakannya. Setiap hari ia mangkal di sekitar jembatan di Brakan. Jika sedang laris sehari ia bisa menjual 300 butir penthol. Ia tak merinci apakah itu besar (harga 2000an) atau yang kecil (harga seribuan). Pagi-pagi dia mulai menjajakan hingga sekitar jam 7 malam. Kebanyakan pembeli adalah mereka yang menempuh perjalanan melewati jalan tersebut.

Selain mangkal di Brakan terkadang si Bapak berjualan di even-even tertentu. Misalnya ada acara wayang kulit, konser dangdut atau acara lain. Perbincangan kami terus mengalir meski terkadang terputus oleh adanya pembeli. Rupanya kali ini cukup laris. Setengah jam saya duduk sudah sepuluh pembeli yang datang.

Beberapa saat kemudian muncul penjual penthol yang lain. Dari box tempat menaruh dagangan terlihat nama yang sama.

“ Itu satu produk pak?”

“Iya. Itu punya saya juga,”

“Wow,”

Saya cukup kaget. Penampilan sekilas dari bapak tersebut hanya dengan sepeda butut ternyata usut punya usut ia sudah memiliki 12 box penthol atau ada 12 orang yang menjajakan penthol buatannya.Sekali lagi penampilan terkadang menipu.

Si Bapakpun cerita lebih banyak tentang dirinya. Sebenarnya biasanya ia berjualan dengan menggunakan sepeda motor. Namun karena hari ini bertepatan dengan libur tahun baru sepeda motor yang dia miliki dipakai oleh anak dan istrinya. Akhirnya ia mengalah dengan memakai sepeda mini.

Ada satu pelajaran yang membuat saya berdecak kagum. Si penjual penthol berkisah dulu sempat ada beberapa penjual lain yang menjual penthol dengan harga lebih murah. Mereka menjual penthol ukuran lebih kecil dengan harga Rp.500,- namun ternyata tidak bertahan lama. Saya baru menyadari ternyata pemilihan harga Rp.1000,- dan Rp.2000,- tidaklah asal.

“Ternyata semalam ada wayang kulit. Tapi sayang lokasinya jauh,”

Terdengar suara keras dari kiri saya. Suaranya yang nyaring membuat perhatian saya kini tertuju padanya. Suara itu bersumber dari seorang lelaki berambut putih, usianya sekira 70 tahun. Si bapak tua berbicara dengan seorang penarik becak motor, pria berkulit coklat terbakar berambut lurus berkumis agak tebal. “ Berceritalah lelaki itu tentang kisah wayang yang semalam ia ikuti”

Sambil ikut mendengarkan pandangan saya masih sempat memperhatikan pembeli penthol. Dan saya mencoba mengingat-ingat berapa jumlah pembeli 45 menit saya duduk disini. “Sudah 13 pembeli”

Si bapak tua bercerita kepada pengemudi bentor. Bermula dari wayang lama kelamaan pembicaraan bergeser tentang hal yang lebih religius. Intinya pembicaraan tersebut manusia itu harus dekat dan ingat dengan sang Pencipta, tentang pintu rejeki dan hal lain. Mendengar ucapan si bapak tua pengemudi bentor yang sedari tadi saya duduk belum mendapat penumpang hanya mengangguk-angguk membenarkan.

Sejenak pembicaraan mereka terhenti. Seorang lelaki turun dari bis. Ia membawa tas dan dua buah kardus yang nampaknya cukup berat. Langsung saja si pengemudi bentor menawarkan jasanya. Sempat terjadi tawar-menawar hingga entah berapa harga yang disepakati lelaki itu naik bentor tersebut. Sambil tersenyum pengemudi bentor mengucapkan terima kasih kepada si bapak tua. Perlahan iapun meninggalkan tempat saya berada.

Tak lama bentor tersebut pergi sebuah mobil travel berhenti. Mobil yang saya nanti untuk perjalanan berikutnya menuju Probolinggo. Dan saya berusaha mengupdate berapa jumlah pembeli penthol sejam sejak saya duduk. “ 18 orang pembeli dalam satu jam”.

Sayapun menaiki mobil travel menuju perjalanan dan kisah-kisah selanjutnya…

Kertosono, 1 Januari 2009

FATHONI ARIEF

Comments