Skip to main content

Kisah Guru Daerah Terpencil Di Papua

Suasana Pelabuhan di Manokwari
















Naftali menuju tempat tugasnya dengan menggunakan Kapal kayu. ” Dari rumah tinggal di Manokwari ke pelabuhan, saya menggunakan taksi. Jarak dari rumah ke pelabuhan saya perkirakan 10 km,” kenangnya. Sesampainya di pelabuhan ia mengurus untuk pembelian tiket. Menurutnya pada tahun 1991 tiket penumpang seharga 15 ribu rupiah. ”Setelah membeli tiket dan waktunya ditentukan bahwa kami harus berangkat pada malam hari. Kami berangkat sekitar jam 10. Pagi kami sudah menyeberang lautan,” katanya.

Setiap melakukan perjalanan menuju ke Yopmeos ia selalu membawa bekal, baik bekal untuk makan di perjalanan maupun berupa bahan makan selama 3 bulan berada di sana. Tiap 3 bulan sekali ia mengurus gaji dan jatah beras di distrik Windesi sebelum berangkat.

Sepanjang perjalanan kapal melewati pulau-pulau kecil. jika pada waktu itu datang musim gelombang tinggi pulau-pulau tersebut digunakan untuk tempat perlindungan. Dalam perjalanan kenang Naftali tak selamanya kapal berlayar dalam keadaan tenang. Terkadang ketika ada gelombang kapal yang kecil itupun terombang-ambing. Dalam kondisi seperti ini seringkali ia tak sanggup bertahan sehingga mengalami mabuk laut. Bahkan tak jarang ia berteriak-teriak karena rasa panik dan ketakutan minta tolong. ”Karena berdasarkan asal geografis nenek moyang saya yang merupakan orang pegunungan. Saya tak bisa betah dan bertahan di laut jika terjadi goyangan kapal keras. Sering saya muntah akibat goyangan tersebut. Tapi saya tetap berusaha bertahan semenjak malam hingga pagi,” kenangnya.

Menurut Naftali biasanya jika tak ada halangan kapal tersebut sudah sampai di distrik kira-kira jam 11-12 siang. ” Setelah sampai di distrik kalau kami tak bisa berlayar biasanya berlabuh dulu. Karena perahu sudah tak bisa lagi berlayar kesana,” katanya.
Setelah tiba di distrik Naftali masih harus melakukan perjalanan lagi dengan menggunakan perahu dayung. Dari distrik ke tempat tugas biasanya ditempuh dalam 10 jam. Tapi kalau menggunakan pakai perahu boot Johson dari distrik Wasior atau Windesi ke pulau hanya sejam.” Kami menempuhnya dengan mendayung, menyisiri pantai, menyisiri pulau-pulau kecil yang berdekatan dengan pantai, Jika ada gelombang tinggi maka terpaksa kami tidak bisa menyeberang. Kami harus sementara membuat pondok di pinggir pantai dan istirahat di situ. Kami menunggu sampai lautan gelombangnya kecil. Agar kami bisa menyeberang. Sesampainya di pulau ternyata kami disambut dengan baik oleh masyarakat sana,” katanya.

Sekolah Bagi Anak Nelayan

Meski secara geografis termasuk terpencil penduduk di pulau Yobmeos sudah tak asing dengan pendatang. Karena daerah pantai sehingga sering ada pendatangn nelayan dari daerah lain bahkan pernah ada nelayan dari Madura yang singgah. Mereka juga sudah banyak yang menguasai bahasa Indonesia.” Jadi tidak sama dengan daerah seperti di Wamena sana yang masih memakai koteka. Mereka sudah mengenal budaya modern. Jadi masyarakat itu sudah biasa berpakaian walaupun jauh dari perkotaan,” kata Naftali.

Menurut Naftali justru di pulau tersebut kemauan anak untuk belajar ada. Cuma selama ini terkendala dengan tenaga guru dan masalah transportasi. ” Kemauan belajar bagi mereka selalu ada. Nyatanya setelah saya ada di sana anak-anak didik saya sudah ada yang jadi sarjana. Ada yang kuliah perawat, kedokteran dan sebagainya, ” katanya.

Karena letaknya yang terpencil SD Negeri Yopmeos sempat tidak beroperasi selama 6 tahun. Menurut Albert Bisay mantan kepala sekolah waktu itu, hal ini bisa terjadi karena terbatasnya fasilitas pendidikan. Bangunan SD saja waktu itu hanya terbuat dari daun sagu. Bahkan sering juga siswa-siswa belajar di bawah pohon kelapa. ”Pada waktu tahun 1986 saya berupaya pergi ke kota untuk meminta bangunan SD yang baru. SD tersebut dibangun lagi dengan bahan dari papan,” katanya.

Pada tahun 1991 saat Naftali datang di sana SD Yobmeos hanya memiliki 3 tenaga guru. 3 orang guru tersebut adalah seorang kepala sekolah, dirinya dan seorang sahabat karibnya, yang hingga saat ini ketika ia sudah dipindah ke SD Inpres Warmare setia mengikutinya.

Pahit getir juga mengiringi Naftali selama bertugas di SD Yobmeos. Satu kepedihan bagi dirinya diantaranya adalah keterlambatan kenaikan pangkat. ” Kami tidak pernah mengusulkan kenaikan pangkat semenjak tahun 1991 hingga 2002 padahal secara fungsional harusnya kami 2 tahun sekali naik pangkat, Kenangnya dengan mata berkaca-kaca. Hal itu menurutnya disebabkan oleh masalah transportasi. Sebenarnya bukannya ia tak berusaha mengusulkan tapi seringkali terlambat. Sehingga terpaksa setelah tahun 2002 baru ia mulai mengusulkan kembali kenaikan pangkat.

Di sana yang menjadi kendala juga adalah tiap kali mengambil gaji. Harus berlayar dulu ke distrik dengan menggunakan perahu layar. Seringkali ia mengambil gaji ke distrik Windesi 3 bulan sekali. ”Cuma yang menjadi kendala banyak terutama untuk saya sebagai seorang guru. Pada waktu itu tidak hanya saya ada banyak teman. Kendalanya itu masalah kenaikan pangkat. Kendala utama kita mau ke kota memang ada pimpinan. Namun harus menyeberang ke kota, itu yang sulit, ” kata Karim Saleh.

Meski terpencil menurut Karim siswa di sana taat, Itu tergantung gurunya. Selain itu kesadaran masyarakat bagus. ” Sikap mereka terhadap pendatang juga santun sekali,” katanya.
(bersambung)

Comments