Skip to main content

Kisah Tentang Saya dan Mereka (1)



Lalu-lalang kendaraan masih melewati Brakan, sebuah persimpangan di daerah Kertosono. Simpang tiga yang nyaris tak pernah tidur. Satu kali duapuluh empat berbagai jenis kendaraan melewati simpang ini dengan berbagai tujuan. Kendaraan yang menuju ke arah Barat biasanya adalah bis-bis besar dengan tujuan Solo, Jogja dan kota-kota yang dilewatinya. Kearah Selatan adalah kendaraan dengan tujuan Kediri, Tulungagung dan Trenggalek. Sedangkan kearah Timur tujuan Surabaya dan kota-kota yang dilewatinya.

Begitu juga dengan siang ini. Meskipun jam sudah bergeser mendekati angka 2 sang surya masih tak bosan melepas panas yang terasa hingga ke kulit. Panas yang melengkapi suasana jalan antar Provinsi yang diisi lalu-lalang berbagai kendaraan mulai dari sepeda motor, mobil pribadi, bis hingga truk-truk besar bermuatan penuh.

Di salah satu sudut jalan, di pinggir jembatan sebelah Utara jalan, saya duduk di sebuah warung kecil. Saya melepas lelah dengan memesan kopi hitam. Di meja warung tersebut ternyata tersedia jajanan favorit saya, tape goreng. Perut yang keroncongan dan rasa pegal yang mulai menyerang sendi-sendi selepas naik bus dari kota Tulungagung membuat jajanan tersebut tersantap secepat kilat.

Meskipun tampilannya kurang meyakinkan ternyata tape goreng tersebut lumayan juga. Tape tersebut masih terasa panas berarti masih baru. Ketika tape tersebut digigit rasa gurih tape yang tengah muncul disusul dengan rasa manis gula aren yang diisi didalamnya.

Tape goreng dan kopi hitam paduan yang membuat jalanan ramai, berdebu, penuh asap terhapus dari ingatan saya. Namun ada satu yang mengusik rasa keingintahuan saya. Kurang lebih sepuluh meter dari tempat saya duduk di pinggir sebuah Musholla ada seorang bapak-bapak yang berjualan penthol (bakso namun tak dijual bersama mie dan campuran-campuran lainnya).

Penthol, jajanan yang mengingatkan pada masa kecil saya. Dulu sewaktu masih duduki di bangku sekolah dasar penjual penganan ini selalu muncul di depan gerbang pintu sekolah. Penthol berbentuk bulat-bulat waktu itu dijual perbijinya Rp. 25,-. Penthol yang ditusuk dengan lidi yang diruncingkan dan dicelupkan kedalam toples berisi semacam saus yang merah menyala selalu menggoda selera. Meskipun orang tua seringkali marah-marah dan cerita akan bahan-bahan penthol dan saus yang sebenarnya sangat jauh dari standar higienis dan aman dikonsumsi.

Keingintahuan saya makin menjadi mengamati ternyata beberapa saat saya duduk sudah ada dua pembeli. Sekedar bernostalgia sayapun berniat mencicipi jajanan masa lalu itu. Terlebih dulu saya membayar jajanan dan minuman yang saya nikmati di warung ini. Lima ribu rupiah untuk segelas kopi hitam, dua potong tape goreng dan air mineral ukuran sedang. Saya sempat menyebut lagi apa yang saya makan dan minum sekedar memastikan harganya tidak keliru. Ternyata benar semua itu hanya saya tebus dengan lima ribu rupiah.

Kini saya melangkahkan kaki ke penjual penthol. Ingin menikmati seperti apa rasanya makanan yang jaman dahulu kala sempat menjadi makanan favorit. Dulu meskipun hanya seharga Rp.25,- saya sangat jarang menikmatinya juga. Walaupun angka tersebut sudah sangat murah namun waktu itu saya memang jarang diberi uang saku oleh orang tua. Saya hanya diberi uang saku di saat-saat tertentu dalam seminggu, khususnya saat olahraga. Itupun seringkali hanya sekeping koin senilai Rp.50,- saja padahal waktu itu teman-teman saya setiap harinya berbekal uang saku Rp.100,- tiap harinya meskipun tidak semuanya juga.

“Penthol pak! Berapaan harganya?”

“Ada yang Rp. 1000,- ada yang Rp. 2000,-“

Dalam pemahaman saya maksud harga tersebut sebungkus isi beberapa biji dihargai seribu atau yang lebih banyak duaribu. Pasalnya sepengetahuan saya penthol biasanya berukuran kecil-kecil jadi tak mungkin sebiji seharga seribu atau duaribu.

“Ya sudah Rp.4000,- pak”

Saya pesan seharga itu karena mengira jumlahnya kalau hanya seribu atau dua ribu akan terlalu sedikit. Lalu penjual penthol tersebut membuka tempat jualannya. “Waah…”

Ternyata saya salah sangka. Penthol yang dijual berukuran besar-besar seukuran sekira tiga perempat bola tenis untuk yang berharga duaribu sedangkan yang seharga seribu besarnya dua kali bola pingpong.

Dengan cekatan penjual tersebut mengambil sebuah penthol berukuran besar, dan dua ukuran lebih kecil. Ternyata ia masih memberi beberapa lagi yang berukuran kecil-kecil.

“Kalau yang kecil-kecil harganya berapa?”

“Kalau yang kecil-kecil tidak saya jual. Biasanya ini hanya saya berikan sebagai bonus”

Keingintahuan saya akan rasa Penthol langsung pudar saat sebuah penthol kecil masuk ke pencernaan lewat mulut. Penthol yang dibungkus plastik itupun saya ikat rapat-rapat dan masukkan kedalam tas ransel. Kini yang menggoda saya adalah keingintahuan akan cerita sang penjual penthol sendiri. Apakah jualan seperti ini bisa dapatkan banyak duit.

Sekilas sang penjual penthol dalam pandangan orang yang melihatnya pertama kali bakal beranggapan dia orang yang hidupnya pas-pasan. Penampilannya juga mendukung dengan kulit hitam terbakar matahari, sepeda mini butut untuk membawa dagangan dan busana yang biasa namun rapi meskipun kaos yang dipakai juga nampak bukan lagi putih, krem juga tidak.

(Bersambung)

Kertosono, 1 Januari 2009

Comments