Skip to main content

Menggugat Keistimewaan Yogya



Bola salju persoalan keistimeewaan DIY ternyata masih menggelinding dan belum juga padam. Seperti yang saya lihat pagi hari ini. di pagar kampus UPN Veteran sisi Timur nampak poster-poster dari kertas HVS hanya berisi tulisan ketikan di tempel di sepanjang pagar. Isi tulisan dalam poster tersebut kurang lebih menentang rencana pemilihan Gubernur secara langsung dan mendukung Sri Sultan serta Pakualam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur seumur hidup.

Meski tidak semua namun sebagian besar warga Yogya bersuara sama terkait dengan rencana tersebut. Lihat saja bagaimana ribuan warga Yogya memadati seputaran Malioboro ketika diadakan sidang terbuka oleh DPRD. Sesuatu yang saya tak habis fikir jika ada beberapa orang menganggapnya seperti simpatisan PKI di tahun 65 yang tengah unjuk kekuatan. Saya juga tidak habis fikir ketika sikap Yogya yang mendapat dukungan dari banyak fihak membuat satu daerah ikut-ikutan minta dijadikan istimewa.

Lalu bagaimana dengan sikap saya? Memang saya bukan orang asli Yogya, tapi delapan tahun tinggal di kota ini membuatnya sudah seperti rumah kedua. Ketersinggungan rakyat Yogya secara langsung juga saya rasakan apalagi baru saja provinsi ini dilanda bencana yang meminta korban ratusan jiwa, ribuan ternak dan harta benda yang tidak sedikit jumlahnya. Namun saya mencoba menggali banyak informasi mengenai seperti apa sebenarnya keistimewaan yang dimiliki DIY.

Pencarian saya di internet membawa saya pada situs wikipedia. Di sana saya mendapat banyak hal tentang keistimewaan Yogya dan asal mulanya seperti apa. Satu tonggak yang perlu diingat adalah amanat 5 September 1945. Tanggal itulah menjadi tonggak bergabungnya monarki Yogyakarta dengan NKRI. Sultan HB IX dan Paku Alam menyatakan sikap yang sama. Itupun setelah mereka mengetahui seperti apa sikap rakyat dan pendapat dari tokoh lain seperti ki Hajar Dewantara. Berarti waktu itu rakyat Yogya dengan kesadaran dan tanpa paksaan bergabung. Yogya menjadi cikal bakal dari negeri ini. Bahkan disaat muncul negara republik indonesia serikat dengan negara bonekanya Yogya tetap menjadi bagian republik Indonesia. Melihat fakta tersebut kesetiaan rakyat Yogya dan pemimpinnya tak usah diragukan lagi.

Yogya tak pernak bergolak, yogya tak pernah berulah. Namun ketika nilai-nilai yang diyakini yogya coba diobok-obok saya kira wajarlah kalau serempak rakyat bersikap. Namun coba lihat apakah selama bersikap, mengutarakan pendapat timbul kekerasan, anarki? Apakah serempak turun kejalan untuk menyatakan pendapat selalu identik dengan “65”,genjer-genjer, atau apalah itu? Namun saya juga tak mau melihat dari satu sudut saja. Sekilas saya membaca mengenai RUU yang bakal mengatur keistimewaan Yogya tersebut. Membaca sekilas RUU yang terdiri dari 12 bab dan 40 pasal tersebut khususnya beberapa poin yang diperdebatkan. Seperti adanya Gubernur Utama, Wakil Gubernur Utama, Gubernur dan wakil gubernur. Menurut saya ini lebih njlimet dari yang saat ini sudah ada dan pelaksanaanya tak semudah itu.

Saya bukanlah orang yang ahli dalam politik, tata negara atau hal-hal yang terkait dengan RUU atau apalah. Menurut saya untuk Yogya semua yang sudah berjalan dengan baik ini biarkan apa adanya. Tidak usah diutak-utik. Jika rakyat sejahtera, tidak bergolak, merasa aman, puas dengan siapa pemimpinya itu sudah cukup. Cukup menurut pandangan saya. Jika anda perpendapat beda silahkan saja.

FATHONI ARIEF

Sumber gambar : Wikipedia

What A Wonderful World (Luis Amstrong)

Comments