Skip to main content

Untuk Kita Renungkan

Moch. Fathoni Arief

Seperti biasanya tiap kali balik ke Yogya dari kampung halamanku,-Tulungagung-, selalu kupilih Kereta Api sebagai sarana transportasi. Sarana ini selalu menjadi pilihan utamaku, meskipun seringkali mengalami keterlambatan jadwal tetap saja paling murah diantara yang ada saat ini. Mau tidak mau ini adalah pilihan utamaku apalagi disaat ketika BBM naik dua kali lipat;yang membawa kenaikan pula pada ongkos angkutan antar kota.

Tulungagung kota kelahiran yang terlalu banyak membawa kenangan manis buatku. Tiap kali meninggalkannya dan harus menuju tempatku kuliah selalu timbul perasaan itu. Perasaan untuk tidak mau meninggalkannya dan mampu membesarkan kota kelahiranku ini. Ada sebuah janji yang sering kuucapkan dan seringpula aku melanggarnya. "Ini adalah perjalanan terakhirku sebagai mahasiswa. Esok ketika pulang aku dalam kondisi yang berbeda,-seorang Insinyur Teknik Sipil,-". Tiap kali aku berjanji tapi nyatanya aku belum bisa memenuhi semua janjiku, saat ini aku masih seorang mahasiswa. Sebenarnya malu, tetapi keadaan memaksaku untuk tidak berdaya olehnya.

Stasiun Tulungagung, termasuk bangunan yang sudah cukup tua. Seingatku ini sudah berdiri ketika aku masih kecil. Jika kuamati kondisi bangunan yang ada nuansa bangunan Belanda memang cukup kental disini. Dalam tiap kali perjalananku menuju Yogyakarta harus menggunakan dua kereta yang berbeda. Dari stasiun Tulungagung aku naik kereta api Penataran Jurusan Surabaya nanti turun di stasiun Kertosono dan harus oper kereta api Pasundan yang menuju stasiun Kiara Condong Bandung.

Hari Senin, seperti biasanya stasiun ini dipenuhi dengan penumpang. Diantara mereka kebanyakan adalah para mahasiswa yang kuliah di Kota Pahlawan Surabaya.

Jam lima lebih lima belas kereta api Penataran sudah sampai. Para penumpang berbondong-bondong untuk memasuki gerbong demi gerbong. Setelah berjuang dengan sekuat tenaga akhirnya kudapatkan kursi di bagian belakang gerbong nomor dua. Segera kutempati tempat duduk yang telah kudapatkan. Disampingku telah diisi oleh seorang lelaki yang kira-kira berusia tigapuluhan. Lelaki itu nampak sedang tertidur pulas. Tak lama setelah aku duduk datang seorang mahasiswa yang menempati kursi didepanku. Lelaki yang baru datang itu nampaknya seorang mahasiswa, itu bisa kulihat dari pakaian dan tas yang dibawanya.

Jam setengah enam tepat kereta api ini sudah diberangkatkan. Tumben nggak telat, biasanya terkadang jam enam baru saja berangkat. Fikiranku kembali terbayang-bayang oleh beban yang tercipta oleh janji-janjiku. Terus terang saja beban itu makin lama kian berat. Suasana khas sebuah gerbong kereta api. Pedagang asongan, pengamen, pengemis, tukang sapu mereka silih berganti mondar mandir dari gerbong kegerbong demi mengais rezeki dari penumpang. Terkadang aku membenci kehadiran mereka tapi suatu saat merindukan kehadiran orang-orang itu, maklum aku begitu hafal dengan wajah-wajah mereka gaya khas dari mereka masing-masing. Mereka adalah gambaran dari kaum yang lama terpinggirkan.

Kini aku teringat pada salah seorang pengamen yang sering muncul yang dulu pernah kukenal. Namanya Yanto, seorang pengamen yang beroperasi dari stasiun Minggiran hingga Kertosono sudah lama tak menjumpainya. Yanto, sosok pengamen yang tak pernah mengenyam kuliah, tapi darinya aku banyak belajar. Belajar tentang bertahan dikerasnya hidup, bagaimana membahagiakan orang tua. Satu yang kuingat darinya cita-citany untuk menyekolahkan adiknya hingga perguruan tinggi. Kerja kerasnya mengamen ditabungnya buat membiayai sekolah adiknya. Kulihat kembali mahasiswa yang ada didepanku. Nampaknya ia masih tertidur pulas. Kulihat lelaki disampingku, ia tersenyum dan menyapaku. "Mau pergi kemana mas?" Tanya lelaki itu. "Ke Jogja." Sejenak kulihat dirinya dan aku balas bertanya padanya "Kalau sampeyan mau pergi ke mana?"

"Surabaya"

"Dinas dimana mas?" Aku tanyakan hal itu karena dari pakaian yang dikenakannya kukira dia adalah pegawai negeri.

"Biasa mas, saya hanya seorang pegawai PEMDA." Dari awal pembicaraan itu akhirnya topik diskusi kami makin meluas, tentang bisnis, agama, sosial hingga ia bercerita tentang keluarganya. "Sebenarnya saya masih nggak enak cepat-cepat balik ke Surabaya."

"Emangnya ada apa?" Tanyaku

"Saya masih terbayang wajah kemenakanku yang masih dua setengah tahun umurnya." Sejuta pertanyaan muncul di hatiku.

"Memangnya ada apa dengan kemenakan sampeyan? Bukannya ada orang tua yang merawatnya?",

Sejenak dia terdiam kemudian menarik nafas dalam-dalam. Sebentar kemudian dia cerita tenatng semuanya. Sebuah tragedi yang telah merenggut nyawa kedua orang tua kemenakannya. Dalam sebuah kecelakaan keduanya meninggal, seorang pemabuk menabrak keduanya saat sedang bersepa motor.

"Nggak tahu mas, timbul perasaan tidak tega tiap kali mengingat keponakan saya ". Kalimat itu yang sering diucapkannya.

Hatiku tersentuh, sesaat diri ini ikut terbawa pada suasana duka itu. Terbayang olehku wajah anak kecil masih polos, tak berdosa yang harus menambah deretan daftar anak yatim piatu dibumi ini. Tak terasa kereta sudah memasuki stasiun Minggiran. Sebuah stasiun kecil di kota Kediri. Kulihat mahasiswa yang duduk didepanku sudah terbangun. Ia menoleh kiri kanan ketika ada suara penjual koran pagi. "Pak Koran!" Seorang penjual koran yang sedari tadi menjajakan koran mendatanginya.

Diambilnya sebuah koran terbitan lokal dan diberikannya pada tukang koran itu selembar seribuan dan lima receh uang seratusan.

"Koran mas?" Penjual itu mengacungkan korannya padaku.

"Tidak pak suadah ada ini." Kutunjukkan koran pagi terbiatan salah satu harian terbesar di Pulau Jawa yang kubeli dari Tulungagung tadi. Dibolak-balik koran yang telah dibelinya. Sesaat kemudian ia menoleh padaku dan menyapaku.

"Mau kemana mas?"

"Jogja.." Sekali lagi jawaban dari pertanyaan yang sama.

"Perasaan aku pernah lihat sampeyan!" dia mengamatiku

"Oh ya."

"Kamu alumni SMU dua ya mas?"

"Oh ya benar". Mahasiswa tersebut ternyata adik kelasku sewaktu duduk di SMU dulu.

"Kuliah dimana sekarang?"

"Sipil UGM."

"Hampir lulus dong?" Sebuah pertanyaan yang betul-betul mengena. Hampir lulus memang namun tertinggal dari teman-teman satu angkatan yang meninggalkanku.

"Wah do'akan saja lulus Februari tahun depan!"

"Sudah baca berita ini mas?"

"Berita yang mana?" Kulihat dihalaman depan koran yang dibawanya. Satu persatu aku membacanya.

"Wah kasihan ya ada yang kecelakaan nabrak jembatan hingga tewas padahal masih kelas dua SMP".

"Sebenarnya aku sedang mendapatkan musibah."

"Musibah apa?" Fikiranku mulai menduga-duga apa yang sedang ia alami.

"Lihat berita yang mas baca itu! Itu adik kandungku".

Aku tertegun ikut trenyuh mendengarnya. Belum lagi bisa kuhilangkan bayangan seorang anak kecil yang ditinggal meninggal kedua orang tuanya kini aku dengar ceita yang tak kalah sedihnya.

Segera saja kucoba alihkan perhatian ketopik pembicaraan yang lain. Kereta terus berjalan dan kami terus saja berbincang-bincang tentang apa saja. Perkenalan yang singkat dengan keduanya seakan tak membuat sekat-sekat idantara kami.

Stasiun Kertosono sudah didepan mata. Kereta sudah berhenti, aku segera bangkit dan mengambil tas punggung yang keletakkan di atas tempat duduk. Tas punggung itupun kini sudah terpakai dipunggungku. Setelah berpamitan dengan keduanya segera kuturuni kereta ini. Belum jauh kakiku melangkah dari kejauhan aku sudah dipanggil oleh penjual nasi pecel tumpang langgananku. Tanpa banyak bicara nasi yang telah disiapkan penjual nasi itupun segera kusantap. Maklum aku berangkat dari rumah pagi-pagi hingga tak sempat sarapan pagi. Sembari melahap nasi pecel tumpang aku terus saja terbayang-bayang oleh cerita-cerita tadi.

Dari dalam warung sayup sayup kudengar lagu Ebit.G. Ade. " Kawan coba dengar apa jawabnya? Ketika kubertanya mengapa? Bapak ibunya telah lama mati ditelan bencana tanah ini".

Pogung 1 Ramadhan 1425 H

Comments