Skip to main content

PENGELOLAAN BENCANA TERPADU


Banjir, Longsor, Kekeringan dan Tsunami

Wilayah kepulauan nusantara terletak di persilangan antara 2 lempeng Samudera yaitu Pasifik dan Indonesia serta 2 lempeng benua yaitu Asia dan Australia. Posisi tersebut sebenarnya menguntungkan dari segi ekonomi. Di sisi lain sekaligus membawa konsekuensi adanya berbagai ancaman bencana alam mulai dari gempa bumi, tsunami, gunung berapi dan gerakan tanah lainnya.

Beberapa tahun ini bangsa Indonesia dikejutkan berbagai bencana alam yang secara bertubi-tubi terjadi. Masih belum lepas dari ingatan saat bangsa ini tersentak dari tidur nyenyak ketika Tsunami yang didahului dengan gempa bumi meluluhlantakkan tanah rencong. Bencana yang dampaknya tak hanya dirasakan di Indonesia tapi hingga ke beberapa negara lain seperti; Malaysia, Srilangka, Thailand, India, Myanmar bahkan hingga mencapai pantai Timur Afrika. Bencana Aceh dan diikuti Nias memakan ratusan jiwa korban manusia dengan diikuti kehancuran yang luar biasa.

Belum lama Aceh terkena gempa dan tsunami di suatu Sabtu tanggal 27 Mei 2006 waktu belum tepat menunjukkan pukul 6 pagi Bumi Jogja dan beberapa kota di Jawa Tengah bergetar. Getaran sebesar 5,9 skala righter yang diikuti jatuhnya korban jiwa dan harta benda yang luar biasa banyak.

Terakhir yang baru saja terjadi adalah bencana alam gempa bumi di Bengkulu yang menambah rentetan panjang peristiwa yang terjadi. Belum lagi bencana alam lainnya seperti banjir, angin puting beliung, genung meletus dan tanah longsor.

Faktor utama penyebab terjadinya bencana diantaranya adalah perilaku manusia guna mencukupi kebutuhan hidup yaitu perubahan tata guna lahan untuk keperluan mencari nafkah dan tempat tinggal. Kerusakan lingkungan yang secara implisit menambah lajunya krisis air semakin dipercepat oleh pertumbuhan penduduk yang tinggi, baik secara alami maupun migrasi. Bencana-bencana seperti kekeringan merupakan bukti nyata degradasi lingkungan yang maikin lama makin parah.

Dari kesemua bencana yang terjadi disadari bahwa bencana akibat daya rusak air. Disamping diakibatkan oleh alam juga banyak yang disebabkan oleh berbagai tindakan manusia yang cenderung dengan sesukanya mengeksploitasi alam tanpa memperhitungkan daya dukung alam.


Bencana Banjir

Bencana banjir yang lokasi terjadinya dulunya hanya didominasi Pulau Jawa kini telah merangkak di Kalimantan dan Sumatera. Dalam beberapa tahun terakhir frekuensi kejadian banjir semakin meningkat dan genangannya juga meluas dengan periode yang semakin lama. Usaha penanganan serta pencegahan sudah diupayakan namun ternyata belum menghasilkan.

Bencana banjir menimbulkan berbagai macam kerugian. Ada kerugian yang timbul secara langsung dan tidak langsung. Kerugian secara langsung biasanya merupakan kerugian fisik atau rusaknya infrastruktur seperti hilangnya nyawa, harta benda dan kerusakan di pemukiman. Sedangkan kerugian tak langsung berupa kesulitan yang timbul akibat banjir seperti terputusnya komunikasi, terganggunya pendidikan, kesehatan dan kegiatan bisnis.


Untuk mengurangi dampak ada strategi dalam mengelola banjir. Menurut data dari Natural Hazard and Application Center tahun 1992 setidaknya ada empat strategi diantaranya; mengurangi kerentanan/bahaya terhadap kerusakan dan gangguan banjir (zona atau pengatur tata guna lahan dalam daerah banjir). Mengurangi banjir dengan menggunakan waduk sebagai pengendali banjir. Mengurangi dampak banjir pada individu dan masyarakat (misalnya menggunakan teknik mitigasi seperti asuransi dan ketahanan banjir). Mengembalikan dan mempertahankan alam dan sumber daya budaya dari daerah banjir.


Tanah Longsor

Tanah longsor merupakan gerakan massa tanah dalam jumlah besar yang bergerak pada bidang geser tertentu. Pada bidang tersebut tahanan tanah dalam menahan geser terlampaui maka terjadilah longsor. Parameter yang berpengaruh terhadap peristiwa ini diantaranya; kemiringan, jenis tanah, kohesi, sudut geser, berat tanah serta air yang mengalir ke dalam yang menimbulkan lereng dalam kondisi jenuh air.

Karakteristik bencana tanah longsor ada beberapa macam diantaranya; periode peringatan bencana tidak pasti bahkan terkadang tak ada peringatan sama sekali. Kecepatan saat kejadian bisa sangat cepat. Kerusakan infrastruktur yang diakibatkan bisa sangat besar. Terkadang daerah produktif bisa hilang sama sekali.

Untuk mengurangi dampak kerusakan dan sebagai peringatan ada beberapa tips dalam mengenali suatu daerah apakah termasuk rawan tanah longsor. Diantara ciri-ciri daerah masuk wilayah rawan longsor pada musim kemarau sedikit tanaman tumbuh, sumur memiliki kedalaman kurang dari 20 meter tak ada air dan tanah retak-retak. Sedangkan pada musim penghujan sumur penuh, retak-retak pada tanah makin besar dan mengakibatkan retak pada bangunan bertambah.


Kekeringan

Bencana kekeringan merupakan fenomena hidrologi yang paling kompleks. Untuk mengatasinya juga menimbulkan satu permasalahan yang kompleks pula karena melibatkan banyak stakeholder.

Kapan bermula dan berakhir bencana ini tidak diketahui. Kesadaran masyarakat biasanya timbul setelah bencana terjadi. Ketika mereka menjumpai fenomena air sumur habis, PDAM macet dan beberapa hal lain.

Di bidang pertanian bencana ini menimbulkan dampak terparah. Akibat kekeringan akan menimbulkan kurangnya pasokan bahan pangan yang ujungnya memicu kenaikan harga kebutuhan pokok. Seterusnya akan timbul berbagai efek berantai seperti petani yang mengalami kegagalan panen akan menjual aset yang mereka miliki akibat tak ada pilihan lain guna mencukupi kebutuhan.

Untuk menentukan suatu daerah rawan bahaya kekeringan atau tidak digunakan satu indeks yang disebut indeks kekeringan. Untuk daerah pertanian indeks ini dapat ditentukan dari klasifikasi menurut Departemen Pertanian. Untuk sungai dapat ditentukan melalui parameter debit andalan dan waduk dengan melihat ketersediaan air.

Guna mengantisipasi bahaya kekeringan dilakukan pendekatan strategis. Pendekatan ini merupakan konsep keseimbangan antara suplai dan kebutuhan serta antisipasi atau menghindari ancaman dari dampak kekeringan. Tindakan nyata yang perlu dilakukan dalam mengatasi bencana kekeringan.


Tsunami

Tsunami berasal dari kata “tsu” yang berarti laut/pelabuhan dan “nami” berarti gelombang. Tsunami terjadi di perairan dalam laut lepas dan bergerak menuju ke perairan dangkal dekat pantai.


Ada beberapa hal yang bisa menyebabkan terjadinya tsunami. Penyebabnya bisa karena gempa bumi, kenaikan kolom air atau penurunan dasar laut dan longsoran di dasar laut.

Kejadian tsunami di Aceh pada tanggal 26 Desember 2006 menjadi contoh betapa hebat kerusakan dan kerugian yang diakibatkan. Sebelum kejadian dahsyat tersebut diawali dengan gempa bumi yang cukup besar dan merusak infrastruktur di Banda aceh. Gempa yang terjadi akibat pertemuan lempeng Australia dan lempeng Eurasia.


Luar biasanya dampak yang ditimbulkan membuat kita tersadar akan pentingnya sistem peringatan. Sistem peringatan yang ada bisa dibagi menjadi dua yaitu peringatan biasa dan peringatan dini.

Peringatan biasa dapat dilakukan dalam berbagai cara dan bentuk. Sebagai contoh dengan mengadakan berbagai sosialisasi mengenai potensi tsunami di suatu daerah. Berbagai kegiatan seperti pembuatan leaflet, buku pedoman juga bisa dimasukkan dalam kategori peringatan. Sedangkan peringatan dini lebih fokus pada tahapan saat menjelang bencana.


Menunggu Tindak Lanjut


Dalam buku yang berjudul Pengelolaan Bencana Terpadu Robert J.Kodoatie dan Roestam Syarief mencoba mengulas tuntas tentang berbagai bencana yang terjadi di tanah air. Ada banyak hal yang dipaparkan satu demi satu.


Sekilas buku ini terkesan terlalu berat buat masyarakat umum. Buku yang cocok dibaca bagi mereka yang bergelut di bidang tersebut dan para mahasiswa jurusan Teknik Sipil. Hal yang juga disadari penulis buku ini dengan menulis di salah satu paragraf pada bab terakhir.

“Setelah diterbitkan buku ini diharapkan ada tindak lanjut yang komprehensif dan terpadu seperti pembuatan peraturan dalam bentuk perda, sk gubernur dan peraturan lain. Termasuk penulisan pedoman banjir, longsor, kekeringan dan tsunami yang lebih sederhana sesuai dengan strata stakeholder sebagai tindak lanjut”.


Rasanya hal tersebut bisa dimaklumi dengan melihat latar belakang Robert J. Kodoatie yang merupakan dosen Jurusan Teknik Sipil Universitas Diponegoro. Sedangkan Roestam syarif juga tak jauh ia merupakan seorang profesional di bidang sumber daya air dan merupakan pejabat karir di Departemen Pekerjaan Umum.

Menurut penulisnya buku setebal 305 halaman yang terbagi menjadi 10 bab ini bisa disebut sebagai mediator terhadap hand book, buku ilmiah dan peraturan-peraturan tentang pengelolaan bencana. Maka dari itu isinya lebih berorientasi pada tindakan/action plan untuk mengelola secara terpadu.


ARIEF

Comments