Skip to main content

Kisah Syamsiah Melawan Gelombang Menerjang Badai


HARI masih gulita kala Syamsiah terbangun dari tidurnya. Bergegas ia menunaikan sholat subuh. Lalu ia menyiapkan segala sesuatu untuk persiapan mengajar. Pagi itu, pukul empat pagi dia sudah berangkat ke tempat tugas bertemankan pompong (perahu motor kecil). Ia sempat ragu sebab laut tak seperti biasanya. Laut tengah tak bersahabat: angin menghadang kencang, gelombang tinggi menggulung-gulung.

Toh, meski begitu Syamsiah tetap berangkat ke tempat mengajarnya SD Negeri 08 Batuberian. SD Batuberian terletak di Pulau Batuberian Besar, pulau kecil yang jaraknya ditempuh sejam perjalanan dengan pompong dari rumah Syamsiah di Serasan, Pulau Serasan. Pulau Serasan sendiri letaknya sekira 100 kilometer arah barat laut dari Sambas, Kalimantan Barat.

Selama lebih dari dua tahun Syamsiah mengajar di SDN Batuberian. Artinya, selama itu pula Syamsiah mengarungi Laut Natuna, pagi dan sore. Ia memang tidak sendiri terombang-ambing di perahu kecil itu. Kalau cuaca normal ia menempuh penyebarangan kurang lebih satu jam. Namun kala ombak dan angin mendera, waktu tempuh bisa lebih dari biasanya.


Pernah suatu saat, pompong yang ia tumpangi, dihantam gelombang besar sehingga hampir terbalik. Untungnya, Syamsiah dan penumpang lain selamat sampai tujuan. “Itu pengalaman saya paling tak terlupakan,” katanya saat menceritakan pengalaman perjuangannya dalam bertugas.

Namun ”beruntunglah”, Syamsiah tak lagi di Batuberian. Kini ia bertugas di SD Negeri 10 Air Tamiang, di Pulau Serasan. Namun tidak berarti ia tinggal jalan kaki di jalanan yang tertata rapi. SDN Air Tamiang posisinya cukup sulit, belum ada angkot dan mobil yang menjamah Air Tamiang. Syamsiah biasa jalan kaki ke sekolah, kurang lebih selama sejam. Namun beberapa bulan terakhir ini, Syamsiah diantar suaminya, Moh. Nawi, pedagang, dengan sepeda motor.

Begitulah puteri asli kelahiran Serasan, 18 Desember 1952 ini menjalani kehidupan sehari-hari sebagai guru. Selama 34 tahun ia mengabdi sebagai guru.

Selayaknya ia mendapat penghargaan Satya Lancana Pendidikan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Guru Berdedikasi. Ia menerimanya pada Peringatan Hari Pendidikan Nasional, di Prambanan, Yogyakarta, Mei lalu.

“Saya kaget. Tidak menyangka dan mengira saat temen bilang, Bu mimpi apa kok dapat panggilan dari Presiden? Saya dipanggil saja mungkin anugerah dari Tuhan,” ujarnya bangga.

Karier Syamsiah sebagai guru dimulai pada 1973, dua tahun setelah tamat dari SPG. “Setamat SMP pada tahun 1969, orangtua saya yang buruh tani sebenarnya tidak mampu menyekolahkan saya. Saya disekolahkan paman,” kata perempuan berjilbab itu terus terang.

Syamsiah sebenarnya ingin masuk SMA, agar lebih mudah melanjutkan ke perguruan tinggi. “Tapi jiwa saya memang ingin jadi seorang guru,” ucapnya semangat. Maka, saat kali pertama ia bertugas sebagai guru ia ditempatkan di SD daerah terpencil ia jalani dengan senang hati. Selama bertahun-tahun ia pindah-pindah tugas di sekolah-sekolah terpencil di Pulau Serasan, tanah kelahirannya.

Hari-hari Syamsiah bersama keluarganya, suami dan dua anaknya dilalui dengan penuh semangat. Pernikahannya Moh. Nawi sebenarnya dikaruniai tiga anak. Sayangnya, putera ketiganya meninggal kala masih kecil. Kini si sulung sudah sarjana lulusan Universitas Pakuan, Bogor. Sedangkan ”si bungsu” telah menggenggam ijazah Diploma 3, Universitas Panca Bakti, Pontianak.

Hebat? Ya, acungan jempol bagi Syamsiah dan suaminya, yang mampu menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang tinggi. “Gaji guru berapa sih? Kecil. Untuk makan kadang-kadang gak cukup dan tidak ada masukan lain. Kalau lagi musim cengkeh, ada tambahan buat menyekolahkan anak dari hasil memetik, menjemur cengkeh kemudian dijual,” katanya Syamsiah yang punya kebun cengkeh tak seberapa luas.

Syamsiah hanya bisa berharap, pemerintah bisa lebih memperhatikan kesejahteraan par guru. Soal penghargaan, ia berharap bisa terus diadakan agar bisa memberi motivasi guru-guru lain dalam berpretasi.


Fathoni Arief



Comments