Skip to main content

Di Lautan Air Mata Semu

MF. Arief


"Selamat ya!",

kata-kata sama diucapkan oleh banyak wajah yang menyalamiku.

Satu demi satu tangan-tangan itu merenggut jari-jariku, meraih dan menariknya, dan selalu saja diringi kata yang sama dengan sedikit variasi senyuman. Ada yang tersenyum lebar dan banyak juga dengan ekspresi keterpaksaan berusaha menutupinya dengan topeng kepura-puraan.

Ada-ada saja yang mendatangiku mulai dari mereka yang telah kukenal, orang-orang dekat, teman dari teman hingga mereka yang pernah jumpapun tidak.


Dan akupun tak bisa melanjutkan kata-kata lagi. Diriku akhirnya terbawa oleh suasana itu. Tak sengaja dari mataku menetes butiran-butiran air mata makin lama tak bisa kubendung lagi. Air mata itupun mengucur, begitu deras hingga kusadari tubuhkuku basah kuyup dan tenggelam oleh air mataku sendiri. Aku tenggelam dalam suasana haru ini.

Orang-orang masih saja terus berdatangan. Mereka terus datang. Pulang satu datang yang lain tak habis-habisnya. Semua menyerbu tempatku berdiri saat ini. Semuanya berebut memegang tangan dan menyalamiku. Akupun terapung-apung dalam lautan manusia yang sekali lagi tak tahu asal muasal dari mereka.


"Bagaimana mereka bisa tahu keberadaanku?", sebuah pertanyaan yang bertubi-tubi dilontarkan hati kecilku.

Suasana yang semula tenang-tenang saja kini menjadi sangat ramai dan mulai tak bisa dikendalikan. Aku seperti sepotong daun yang terombang-ambing di lautan manusia.

Akupun bagaikan mainan atau barang-barang yang dilempar oleh seorang artis dari panggung yang jadi rebutan penonton setianya. Pasrah, tak bisa berbuat apa-apa diantara kerumunan manusia yang mulai menyemut itu.

Berawal hanya ingin berjabat tangan semut-semut manusia itu jadi makin brutal, histeris tak bisa dikendalikan lagi. Baju, jam, kaca mata, HP, celana satu demi satu mereka lucuti dan terrnyata tak berhenti sampai begitu saja. Aku yang setengah telanjang ini masih saja menjadi rebutan manusia-manusia itu. Tangan, badan, kaki kinipun hilang satu demi satu bercerai berai hingga akhirnya jiwa inipun terpisah dari raga.

Orang-orang menjadi menangis mereka sedih.


"He dia sudah mati!"

"Tak mungkin dia tak bisa mati!" Mereka semua saling perang mulut,saling menyalahkan. Setelah semua lelah satu demi satu manusia itu pergi.

"Dia telah mati tak bisa berguna lagi!",

"Benar dia tak berguna lagi sia-sia kedatangan kita",

Semut-semut manusia itupun pergi saat tahu aku sudah mati tak berguna. Satu-satu mereka meninggalkan tempat ini. Ada sebagian kecil dari mereka yang menangis dan terus menaris. Air matanya mengalir hingga membuat daerah ini jadi genagan luas, genangan air mata.

"Suasana kinipun jadi sunyi kembali", kerumunan manusia hilang semua…

Aku telah mati…"Lalu kenapa?"

Apa yang sebenarnya terjadi?

Kulihat sesosok yang menari-nari tertawa melihatku yang sedang terkapar meregang nyawa.


Pondok perenungan Gus Fath 11 Juni 2006


(A bukan berarti A, B bukan berarti B di sini memang sulit menentukan sesuatu nyata atau tidak. Jika suatu saat kematian itu datang aku tak ingin menerima air mata semu yang kuinginkan adalah suara tawa dari manusia yang bergembira atas perjalananku menuju surga)

Comments