Skip to main content

Berjuang Demi Suku Terasing


Ketabahan dan kegigihan menjadi kunci keberhasilan. Selama 24 tahun mengajar suku terasing di tempat terpencil.


TERIK mentari yang menerpa udara Yogyakarta, persisnya di kawasan Candi Prambanan, tak mengurangi rasa haru dan bahagia Ismail Tihuruhua. Keharuan membuncah di dada pria kelahiran Sepa, 19 Februari 1962 ini. Ismail tak menyangka mendapat anugerah penghargaan Satya Lancana Pendidikan dari Presiden sebagai Guru Berdedikasi.

Ismail haru saat mengenang jalan panjang dan berliku sebagai guru. Masih tergambar jelas masa-masa sulit kali pertama ia diangkat jadi guru PNS pada 1983. “Saat itu saya mendapat gaji duapuluh tujuh ribu rupiah tiap bulannya. Tempat pengambilan gajinya juga jauh,” katanya dengan mata nanar.


Ismail yang tinggal di tanah kelahirannya, Desa Sepa, Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah itu mesti bolak-balik dari rumah-sekolah menempuh perjalanan hampir 50 kilometer. Tiap hari ia berdesakan naik angkot. Itupun masih jarang jumlahnya. Sehingga ia mesti menunggu-nunggu cukup lama.

Ia “terpaksa” mengajukan permohonan pindah tugas ke dinas pendidikan provinsi Maluku. Ismail juga ingin mengabdi di kampung halamannya. Juga menjaga orangtuanya yang renta.

Permohonannya terkabul. Ia dipindah mengajar di SD Negeri Sepa Kecamatan Amahai. Ia mengajar lebih dari 20 tahun, sebelum ia diangkat menjadi kepala sekolah di sana, pada 1999. Pada 2005, ia dipindah lagi mengepalai SD Inpres Ruhua, masih di desa Sepa.

Setahun di Ruhua, datanglah rombongan tim dari Depdiknas Jakarta memonitor sekolah-sekolah di daerah terpencil. Ruhua adalah sekolah yang sebagian besar dihuni murid-murid dari suku terasing, yakni suku Naulu. Masyarakat Naulu kebanyakan tidak memiliki agama dan masih menganut animisme. “Mereka masih primitif. Secara administratif, tertulis mereka tidak beragama,” kata Ismail.

Meski penuh tantangan, Ismail tetap bersemangat. ”Karena kegigihan, perjuangan dan kesabaran, semua tantangan bisa teratasi. Saya anggap sebagai ujian melihat sejauh mana kesabaran saya,” ungkapnya bijak.

Pagi-siang, ia rela naik ojek menuju lokasi, yang berjarak sekitar 10 kolometer dari rumahnya. Namun kalau hujan deras, terpaksa ia tak bisa menuju sekolah.

Ismail berharap pemerintah semakin peduli pada nasib para guru dan sekolah-sekolah terpencil. Guru-guru di Ruhua, semuanya tinggal cukup jauh dari sekolah. Mereka datang dengan berjalan kaki. “Jika kebetulan pas ada sepeda motor atau mobil yang lewat, ya bisa bareng. Semoga pemerintah membantu masalah transportasi untuk melancarkan tugas kami mendidik anak,” ujar lelaki yang lahir dari keluarga petani ini.

Saat kedatangan Ismail ke SD Ruhua, jumlah kelasnya hanya tiga. Siswanya cma 89 anak. Kerja keras bersama para guru membuahkan hasil. Siswa meningkat menjadi 200-an, sehingga menambah tiga ruang kelas baru. “Alhamdulillah, saya kerja keras dan melakukan pendekatan ke pejabat di kabupaten. Tapi belum ada kantor guru yang permanen. Kantor bagi kami masih berupa bangunan dari papan,” kata ayah enam anak ini penuh harap.

Ada satu hal lagi yang hingga kini mengganjal di benaknya. “Anak-anak di suku terasing ada yang sudah menjadi sarjana tapi mereka tidak bisa menjadi pegawai negeri karena agamanya belum jelas,” katanya. Padahal, saat Pemilu maupun pemilihan kepala daerah, mereka ikut terdaftar dan memberikan suaranya. “Tapi kenapa saat mencari kerja mereka ditolak?”

EVA ROHILAH DAN M. FATHONI ARIEF (Yogyakarta) MAJALAH GURU

Comments