Skip to main content

Balada Dana Bantuan

Burung-burung liar berterbangan hinggap dari satu ranting ke ranting yang lain. Suara mahluk kecil itu sangat indah, mereka bersahut-sahutan seakan sedang mementaskan pertunjukkan orkestra alam raya. Musik alami indah yang terdengar itu semakin enak dinikmati dengan adanya hembusan angin sepoi-sepoi dari pantai yang memanjakan diri ini.

Selain-sajian musik dan udara yang berhembus mata ini juga dimanjakan dengan indahnya pemandangan laut yang terbentang. Ombak yang datang silih berganti berderet-deret menerjang batu-batu karang yang menghalangi. Buih-buih bermunculan seiring dengan tersedotnya ombak itu kearah laut. Suasana indah yang mungkin tak akan pernah kujumpai dalam gemerlapnya kehidupan di kota besar. Dunia dimana gedung-gedung menggantikan rimbunan pepohonan suara klakson menutupi suara hembusan angin dan kicauan burung.

Dari tempatku duduk di bukit dekat pantai ini aku segera berdiri. Entah karena apa sehingga aku berjalan dan mulai menuju kearah bibir pantai. Kuatnya daya tarik magnet keindahan alam ini membuat keterpesonaanku menuju pada puncaknya.

"Dunia tersenyumlah kepadaku! Aku menantangmu dunia". Entah kenapa aku berteriak keras seiring dengan itu kurasakan sebuah kelapangan hati. Hal yang telah lama tak kurasakan.

Segar, nikmat rasanya. Suasana yang begitu nyaman. Dalam-dalam kutarik nafas dan kemudian membuangnya kembali. Setiap udara yang kuhirup seakan menjadi sebuah semangat baru, energi baru yang dengan keyakinan penuh mampu membangkitkan mesin-mesin produktivitas dan kreativitas yang terlalu lama ngadat.

Tak terasa waktu berjalan dengan cepat. Sekarang sudah pukul setengah sebelas siang. Sudah setengah perjalanan dari kegiatan kuliah kerja nyata di sini kutempuh. Ada sebuah cerita yang benar-benar terjadi di sini. Aku mungkin menjadi salah satu pelaku dan pemain utama di dalamnya. Cerita yang membuat diriku jadi tahu dan mengerti. Hal yang seringkali menjadi pembeda diantara dua dunia. Dunia di sini dan jauh sana tempat dimana keramaian berada.

Sebenarnya apa yang dinginkan oleh mahluk yang bernama manusia? Mereka semua termasuk aku selalu ngotot dengan cara-cara sendiri. Ingin memuaskan segala hasratnya. Kekuasaan, popularitas, kekayaan adalah sebuah paket yang terbungkus dalam tiap-tiap keinginan manusia. Dengan persepsi masing-masing manusia menafsirkan segala sesuatu sesuai dengan keinginannya. Mereka membuat sekat-sekat, kotak-kotak yang begitu efektif menjadi mesin pembeda diantara yang kuat dan lemah, yang kaya dan miskin, berkuasa dan tidak. Manusia berusaha menghakimi sesuatu seolah-olah dialah yang menentukan baik atau benar, pahala dan dosa, lebih parahnya surga dan neraka.

Untung saja aku sekarang di sini, dimana aku tak lagi mengalami hal itu. Di daerah yang begitu jauh dari keramaian ini aku untuk sementara bisa terhindar darinya. Aku untuk sesaat bisa mengasingkan diri. Pikiranku masih tertuju pada dana proposal yang ternyata hanya cair sebesar seratus empat puluh ribu dari nilai total delapan ratus ribu yang dijanjikan.

"Yang benar seperti kata pembimbing anda. Semuanya hanya gosip. Siapa yang nyebarkan berita nggak benar itu. Laporkan pada saya nanti segera saya tindak!" begitu penuturan dari koordinator tingkat Kabupaten ketika kutanya tentang dana itu. Tanggung jawab berat yang kuemban memaksaku untuk mengusut tuntas permasalahan yang terjadi itu.

Seharian penuh aku merenung menimbang dan mencari tahu apa yang harus kulakukan. Diam berarti aku membiarkan penyelewengan itu terjadi, bergerak tapi itu butuh kehati-hatian dan nyali besar. Sebuah tindakan yang penuh dengan resiko. Penarikan yang berakibat pada sangsi akademik menjadi hantu yang menghalang-halangi langkahku.

Sebuah tindakan taktis kuputuskan. Dengan beberapa teman kita merundingkan sebuah cara untuk mengatasi dengan jalan terbaik. Sebuah pertemuan singkat. Berdasarkan keputusan bersama tim investigasi harus disebar guna menggali fakta tentang dana-dana tersebut. Pedang itu kini tengah kami hunus. Segala resiko yang mungkin saja menimpa telah kami perhitungkan dan pertimbangkan baik-baik.

"Mulai dari saat ini kita harus lebih hati-hati dalam bertindak. Jangan sampai mereka yang tidak berkepintangan tahu. Simpan dulu rahasia ini!" Pesan singkat yang kusampaikan pada mereka. Bak seorang jenderal yang memerintahkan mereka. Mereka pun tunduk dan mengikuti kata-kataku.

"Baik mas. Besok kami akan segera gerak mungkin empat orang akan mencari tahu tentang kebenaran larinya dana itu". Herman menatapku dengan gelora semangatnya. Ya dia dengan sepenuh hati mendukungku.

Semenjak pertemuan itu ternyata desas desus ini tak bisa distop larinya. Hampir seluruh anggota dari unit yang kupimpin tahu kejadian tersebut. Diantara kami timbul kontroversi. Yang membuatku kecewa bukan hanya apa yang harus dilakukan tapi mulai timbul ketakutan.

"Bagaimana jika nantinya seluruh anggota unit ini terkena sangsi akademis?" Pertanyaan yang mulai timbul dari mulut ke mulut. Antara ya dan tidak, maju atau mundur.

"Pokoknya kita harus terus maju. Ini pertanggung jawaban yang harus kita berikan. Apa kata Pak Lurah, Pak Camat atau Pak Bupati jika sampai tahu. Surat tembusan itu sudah sampai ketangan mereka". Kata salah seorang dari anggota yang lain. Bicara yang berapi-api dan penuh semangat itu kini mampu menepis segala kearguanku.

Apapun yang terjadi baik atau buruk akulah yang akan dicap sebagai penaggung jawabnya. Mau tak mau aku harus menerima posisiku sebagai koordinator dari rekan-rekan.

Bau harum masakan sudah tercium hingga ruangan depan. Nampaknya sebentar lagi makan malam sudah tersedia. Tahu, tempe, sayur lodeh menjadi menu utama yang seringkali diberikan oleh pemilik rumah ini. Semuanya itu akan semakin lengkap dengan krupuk yang selalu siap sedia.

Nampaknya Hasan sudah merasakan kelaparan. Sedari tadi ia memegang-megang perutnya entah apa karena ia sudah tak mampu menahan laparnya. Memang anak satu ini merupakan jago makan di pondokan ini.

Suasana pondokan seperti biasanya ramai, semarak apalagi diisi dengan saling adu argumen diantara penghuninya. Di sini kami berdelapan masing-masing memiliki perangai unik, yang sangat dihafal. Mereka semua memang nampak ceria apalagi Bakti seorang yang paling aneh hingga minta dirinya dipanggil sebagai Kaisar.

Suasana makan yang selalu diisi dengan adu argumen dan diskusi. Kali ini apalagi topiknya kalau bukan tentang dana bantuan itu. Mereka semuanya nampaknya terbakar, emosi yang lambat laun bisa tak terbendung lagi apalagi jika kudengar segala keluhan mereka tentang sikap pembimbing lapangan yang dianggap menjengkelkan.

"Bagaimana perkembangan dari langkahmu?" tanya leonard padaku.

"Tunggu saja sabar aku dan anak anak dari sub unit lain telah menyusun strategi pergerakan". Begitu jawabku.

"Ah terlalu lama langkahmu". Sahut Eni

Langkah yang kulakukan memang harus ekstra hati-hati ini adalah masalah penting dan tak boleh nama kampus jatuh gara-gara persoalan ini. Bagaimanapun juga semua perbuatan dari rekan-rekan jatuhnya pasti padaku. Dosen tahunya yang bertanggung jawab adalah koordinator tingkat unit. Begitulah suasana makan sore ini tegang dan sedikit memanas oleh persoalan dana bantuan itu.

Seiring dengan selesainya makan adu argumen dan suasana yang memanas itupun berakhir. Mereka terus memberi dukungan dengan satu suara tuntut kejelasan penggunaan dana itu. Ada sebuah kabar yang cukup membuatku lega bukti yang akan kugunakan semakin kuat baru saja Herman datang membawa surat edaran dari kabupaten lengkap dengan lampiran rekapitulasi pembagian dananya. Surat yang asalnya dari salah seorang yang tak mau disebut-sebut namanya apalagi saat Dosen-dosen itu datang. Kepercayaan yang harus kami jaga setidaknya kami sudah memiliki bukti adanya penyelewengan yang terjadi.

Minggu sore tim investigasi yang terbentuk berkumpul dan melaporkan hasil penelusuran mereka di unit-unit yang lain. Setelah di cek antara yang tertulis dan uang yang dibagikan di lapangan ternyata ada perbedaan. Perbedaan yang membuat kecurigaan kami semakin berasalan dan mempunyai bukti yang kuat.

"Hasil yang mengagetkan kawan! Hasil penelusuran di Unit C terdapat pembagian dana bantuan yang seharusnya mereka tak dapat. Yang kaget dan membuat kami geleng-geleng kepala ketika ditanya uangnya untuk apa dengan enteng mereka menjawab paling buat makan-makan". Agung memaparkan hasil investigasinya.

Hasil yang serupa juga disampaikan oleh Herman dan Budianto. Semua membawa ke satu kesimpulan bahwa memang terdapat penyelewengan.

"Lalu apa langkah kita selanjutnya?" Herman menatapku nampak emosi muali naik. Kebusukan yang juga telah ia cium rupanya.

"Sementara masing-masing siapkan pertanyaan sebanyak banyaknya. Nanti aku hubungi Koordinator Kabupaten. Bukankah rencananya besok ada kunjungan dari beliau kan?"Jawabku

Pertemuan singkat itupun berakhir dengan kedatangan Nanda gadis anak seorang pegawai pemkab yang sangat digandrungi di dusun ini. Pertemuan sekilas dengannya ketika berkunjung kerumahnya dalam rangka sosialisasi program sempat menimbulkan benih-benih asmara dan celakanya hal tersebut terbaca oleh rekan-rekan satu unit hingga membawa kehebohan pada unit ini.

"Eh sebentar nampaknya kita harus tutup pertemuan ini beri kesempatan pak Koordinator bertemu dengan gadis pujaannya". Herman melirik ke arahku ia mengedipkan satu matanya memberi isyarat padaku.

Nanda gadis desa pinggir pantai wajahnya sebenarnya biasa saja namun begitu ada sesuatu yang membuat banyak lelaki tergila-gila. Aku kemari sudah tahu bahwa ia jago masak dan memang begitu baik. Ah aku tetaplah aku selalu saja gemetaran dan kikuk tiap kali ada cewek apalagi jika dia itu cantik dan ternyata itu bukan aku saja yang mengalami kuliaht Nanda juga tak jauh beda ia tiap kali kelihatan grogi jika ada diriku.

Hari yang ditunggu-tunggu tiba. Kata Herman hari ini beberapa dosen pembimbing lapangan termasuk koordiantor lapangan akan megadakan kunjungan. Persiapan pun segera kami lakukan pagi-pagi buta semua titik yang dulu terdapat tanda Kuliah Kerja Nyata segera dipasang lagi. Tak lebih dari sejam tanda-tanda yang hilang itu telah terpasang. Gapura yang kotor juga telah dicat, begitu juga dengan pondokan yang sempat berantakan. Hari ini kami siap menunggu kedatangan mereka.

Satu jam, dua jam, tiga jam hingga sore hari ternyata yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang. Hingga akhirnyamalam telah menjelang kami berakhir pada kesimpulan mereka mungkin belum siap utnuk bertemu dengan kami. Yang paling meyakinkan jika mereka takut adalah berita dari Wawan katanya dari pagi hingga sore dosen-dosen itu lama berada di unit B padahal unit itu hanya bersebelahan desa dengan kami.

Hari yang membuat kecewa. Dengan penuh kekecewaan segera kukirim pesan singkat ke Koordinator Kabupaten hasilnya mengagetkanku. Aku yang hanya mengirim SMS ternyata dibalas dengan telefon. Lewat itu beliau coba jelaskan aku hanya bilang ya..ya…. dan ya walaupun dalam hati tetap tak percaya.

"Sudah saya jelaskan ya jangan ada kesalah fahaman lagi. Besok Senin saya akan ke unit anda!" katanya dalam telefon. Kecewa tetapi bagaimanapun juga niat baik harus tetap di terima.

Sekali lagi aku bertemu dengan Nanda malam ini. Dalam acara arisan remaja kulihat dia dengan kerudung warna hitamnya. Sosoknya begitu anggun malam ini. Aku sesekali melirik padanya walapun rekan yang lain berbisik-bisik sambil mengolok-olok diriku. Segala kekecewaan yang sempat muncul gara-gara masalah dan itupun untuk sementara bisa kulupakan. Hari kekecewaan yang ditutup dengan perasaan lega.

Hari penghakiman telah tiba dosen-dosen itupun telah datang di pondokan ini. Mereka ternyata satu rombongan tak seperi yang kuperhitungkan. Di pondokan hanya terdapat beberapa orang saja.

"Maaf bu saya yang kemarin kirim pesan singkat pada Ibu". Akupun segera jelaskan semuanya tentang surat edaran itu dan protes yang kami ajukan. Dosen itupun segera memberi penjelasan dari enam orang yang datang itu nampak juga pembimbing lapangan dari unit sebelah salah satu yang berdasarkan investigasi menerima dana padahal tak tercantum dalam surat edaran yang kudapat.

"Begini, sebenarnya unit kalian itu sebenarnya memang tak berhak untuk mengajukan permohonan dana. Unit kalian itu sepenuhnya dibiayai oleh fakultas Teknik yang jumlahnya berlipat-lipat jika dibandingakan dengan jumlah dari pemerintah daerah".

Dari kami ada yang menerima, ada yang diam, ada yang menolak terang-terangan. Aku hanya diam setelah mengajukan pertanyaan-pertanyaan memang tak ada celah yang bisa kujadikan alat untuk mengalahkan mereka. Bakti tetap saja menentang sayang ia terbantai oleh dosen pembimbing kami sendiri. Dia khir pertemuan ini aku jadi menyadari bahwa di dosen pembimbinglah letak kesalah fahan jika boleh diaktakan begitu.

Seperti yang kuduga selepas pertemuan tadi dosen pembimbing menghubungiku. Ia semprot habis-habisan aku yang notabene memang koordinator dan dianggap sebagai dalang dari semua ini.

Perjuangan yang akhirnya menghasilkan juga. Bagiku sudahlah untuk sementara cukup jika dana yang seharusnya kami dapat diganti oleh sumber yang dicarikan oleh pembimbing karena memang ia yang bertanggung jawab penuh untuk itu. Memang ternyata untuk menyatukan semua tak begitu mudah tetap ada suara yang mengatakan aku telah takluk oleh uang dan seakan melupajkan begitu saja.

Tak terasa dalam waktu yang singkat ini aku sudah harus meninggalkan desa ini. Semua program yang kami yang berhubungan dengan dana tersebut dapat dituntaskan. Tentang dana itu sendiri akhirnya tak ada lagi suara-suara miring tentang itu walaupun samapai saat ini ada semacam ganjalan yang ada dalam hatiku tentang itu namun sekali lagi posisi tawar yang lemah membuatku tak berdaya. Setidaknya dari perjuangan kami ini akan membuat mereka lebih hati-hati lagi dalam mengelola dana yang diamanatkan untuk disampaikan kepada rakyat lewat program-program mahasiswa.

Kulon Progo, Agustus 2005

Comments