Skip to main content

GERBANG

By : Gus Fath

Di bawah kursi dari timah yang perkasa
serasa berabad-abad kami tergencet tak berdaya
berteriak tak bisanyamengeluh pun sia-sia
mengadu kepada siapa?

(KH. Mustofa Bisri)

Sudah lebih dari lima bis kota melintas didepanku, kira-kira sejak setengah jaman aku berdiri disebuah sudut kampus ini. Didepan tempatku berdiri kira-kira seratusan meter berdiri gerbang itu. Gerbang yang gagah, megah, anggun namun ada satu sisi yang menunjukkan kecongkakan dari bangunan tersebut.

Bangunan dengan struktur yang terbuat dari beton dan pipa-pipa baja memang disusun dengan sedemikian. Dominasi garis dan bentuk menyerupai candi menimbulkan kesan unik tetapi futuristik. Setidaknya ketika orang melihat gapura ini akan memandang universitas yang memilikinya adalah sebuah lembaga yang penuh dengan ciri khas tetapi mempunyai wawasan kedepan.
Aku tak tahu secara pasti biaya yang dihabiskan untuk pembangunan gapura ini. Jika diamati sekilas untuk membangun bangunan seperti itu ditambah taman yang ada disekitarnya setidaknya bisa menghabiskan uang mendekati dua miliar. Sebuah harga yang wajar di satu sisi jika dilihat hasil pembangunannya.

Gerbang ini baru kira-kira dua bulanan rampung masa pengerjaannya. Jika dibandingkan dengan kondisi yang lama perbedaan yang mencolok itu bisa kurasakan. Sisi-sisi angkuh lambang dari kokohnya suatu kekuasaan.

Di satu sudut kampus ini aku terbuai dalam perenunganku. Secara tak aku sadari bayanganku telah berputar-putar kemana-mana sampai ruang-ruang yang tak terajangkau.
Teringat sebuah peristiwa yang terjadi pada bulan Mei di Kampus ini. Sebuah pergerakan yang dimotori dosen-dosen senior menuntut pencabutan surat keputusan kenaikan gaji rektor dan petinggi-petinggi kampus.

Dosen bergerak dengan mahasiswa di gedung pusat Universitas ini. Aku masih ingat bagaimana dosen begitu kompaknya. Saat itupun kuliah pagi terpaksa diliburkan.
Aku tak tahu secara pasti jumlah nominal dari kesenjangan yang dijadikan tuntutan. Yang pasti menurut mereka terjadi gap yang sangat signifikan dalam hal gaji dan tunjangan.
Sepuluh meter dari tempatku berdiri nampak seorang tukang becak yang tenggelam dalam lamunan. Tak tahu apa yang ada dalam fikirannya. Apakah sedang memikirkan naiknya harga BBM yang mencekik? Memikirkan sepinya penumpang? Atau dia juga ikut berfikir tentang kehidupan kampus ini? Mampukah anak-anaknya nanti masuk dalam kampus ini dan menyandang predikat sarjana? Mungkin itu ahanya dugaanku yang berlebihan, jangankan berfikir tentang pendidikan untuk makan besok saja ia harus kerja keras hari ini.
Didekat tukang becak itu mangkal berdiri seorang bapak-bapak yang sedang menjajakan lukisannya. Dia dengan lukisan-lukisan itu mencoba mencari lembar demi lembar rupiah untuk bertahan hidup.

Didekat tukang lukisan itu juga masih terdapat mereka dengan nasib yang sama. Sebuah pemandangan dibawah naungan gerbang sebuah universitas.
Mereka semua adalah kaum yang terpinggirkan oleh keadaan. Mereka bukan tidak berusaha tetapi hanya punya kemampuan sebatas itu yang bisa mereka lakukan. Dari keadaan yang terjadi yang membuat pola fikir mereka semakin sederhana saja. Buat apa sekolah tinggi jika nantinya harus jadi pengangguran.

Aku coba langkahkan kakiku mendekati gerbang tinggi besar itu. Semakin dekat jarakku dengannya semakin jauh rasanya jarak diantara kami, walaupun itu hanya perasaanku yang timbul saja. Kesan kokoh, megah dan angkuh sangat kurasakan.

Tak tahu sungguh tak mengerti apakah itu benar, semoga saja tidak. Kampus ini bukan lagi menjadi kampus kerakyatan. Katanya sebagian dari mereka kampus ini hanyalah tempat bagi orang kaya yang ingin sekolah. Orang miskin harus punya hal yang luar biasa yang bisa mengangkat derajat mereka sehingga bisa masuk kampus ini. Itu hanya desas-desus yang sering kudengar, semoga saja hal tersebut tidaklah benar.

Dari apa yang kurasakan sendiri biaya itu kian mahal. Sebenarnya tidak hanya Universitas ini saja pernah kubaca dari sebuah Majalah Nasional yang terbit bulanan hal seperti ini juga terjadi di kampus lain di Jakarta, Bandung Bogor. Kampus yang dirubah statusnya menjadi BHMN.
Aku teringat betapa banyak orang tua yang menginginkan bisa masuk kuliah diKampus ini. Harapan mereka banyak yang mental termentahkan, bayak diantara mereka yang gagal diterima di kampus ini. Aku sendiri termasuk salah satu diantara manusia beruntung yang mendapatkan tiket khusus untuk bisa kuliah dikampus ini.

Tak terasa sudah hampir sejam aku termenung disini. Aku baru teringat hari ini harusnya aku masih ada kuliah jam setengah dua siang nanti. Kurogoh saku celanaku, tanganku mendapatkan uang seribu lima ratus berarti cukup untuk uang bis kota kemabli menuju jurusanku. Memang kampus yang terlalu besar ini sedikit merepotkan mahasiswa yang hanya mengandalkan kakinya, mereka yang tak memiliki kendaraan.
Ada satu hal yang cukup melegakan bagi mahasiswa sepertiku. Beberapa bulan yang lalu disini diluncurkan sepeda hijau yang cukup membantu orang-orang seperti kami, walaupun jalanan kampus masihlah tetap dalam kekuasaan roda dua bermesin yang cukup membuat kekotoran udara dikampus ini.

Revolusi industri turut mempercepat laju perkembangan bidang-bidang yang lain. Pasca revolusi industri gencar dilakukan penelitian-penelitian yang menghasilkan berbaagai penemuan yang sangat mewarnai pola kehidupan manusia dimasa yang akan datang. Salah satunya adalah penemuan berbagai jenis mesin. Dampak dari penemuan mesin ini adalah percepatan produktivitas dari manusia tetapi bukan berarti segala masalah hilang begitu saja.
Lambat laun manusia kian bergantung pada mesin entah itu mesin pabrik, kendaraan dan berbagai macam yang sangata erat hubungannya dengan kehidupan sehari-hari manusia. Ketergantungan terhadap mesin membuat ketergantungan terhadap alat tersebut dan menaikkan konsumsi bahan bakar dan nantinya ini akan menjadi permasalahan besar.
Pada awal ditemukannya mesin orang mungkin belum tersadarkan tentang energi tak terbaharukan tersebut. Kini orang mulai sadar dengan bahan bakar yang selama ini mereka gunakan dan berfikir tentang energi alternatif yang dapat digunakan yang tentunya lebih ramah lingkungan dan hemat.

Kini seiring dengan laju penipisan cadangan bahan bakar yang selama ini dipakai dan fakta-fakta yang menunjukkan bahwa selama ini bahan yang dipakai kurang rmah lingkungn orang mulai tersadar walaupun jumlahnya masih sedikit. Dengan harapan dari sedikit orang yang sadar itu bisa menyadarkan untuk lebih banyak mawas diri dalam pemakain bahan bakar selagi bahan bakar baru belum diketahui.

Polusi udara merupakan permasalahan yang dihadapi banyak kota-kota besar. Permasalahan tersebut tak hanya di alami kota-kota besar Indonesia tetapi juga dibanyak negara lain didunia. Polusi udara yang terjadi menyebabkan semakin tingginya tingkat emisi gas kaca. Dampak paling nyata dari kejadian tersebut yang bisa dirasakan adalah makin meningkatnya suhu rata-rata dipermukaan bumi

Tak lama menunggu akhirnya bis kota warna oranye bernomor empat itupun telah berhenti didepanku. Melihatku yang masih berdiri awak bis itupun teriak dan menarikku, aku pun segera berada di atas bis itu. Bis kota inipun segera melaju dengan kencang seperti sedang melalui sirkuit balapan. Fenomena yang seringkali kujumpai dan membuatku sumpah-sumpah tak akan menggunakannya tetapi nyatanya sampai sekarang aku masih setia dengan kendaraan yang mirip kompor berjalan itu.

Soepaja djalannja SAMA RATA, Jang berdjalan poen SAMA me RASA, Enak dan senang bersama-sama, Ja’toe: "Sama rasa, sama rata." (Sinar Djawa 10 April 1918)
Bunderan UGM, 2005

Comments